Democrazy?

 Monday, July 18, 2005

Hari ini waktu sudah menunjukan pukul 2.43 pagi, gw masih aja belum juga bisa tidur. Kebetulan saat ini gw lagi kepikiran masalah demokrasi (or democrazy?). Terus terang ada beberapa tulisan yang sepertinya meruntuhkan sedikit keyakinan gue tentang "superioritas" sistem demokrasi dibanding sistem-sistem yang lain. Pemuja demokrasi seringkali menyebut istilah "Vox Populi Vox Dei" yaitu "Suara Rakyat adalah suara Tuhan". Jika semua rakyat di suatu wilayah itu kumpulan para bangsat apakah berarti keinginan atau kelakuan rakyatnya yang bangsat bisa tetap disebut keinginan dari Tuhan?

Ada dua kutipan dari buku yang ingin gue tuliskan yang sedikit banyak ada hubungannya antara pemaksaan vs demokrasi. Buku yang pertama dari buku dengan Judul "Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya" tulisan dari Adian Husaini, M.A. dan Nuim Hidayat, terbitan Gema Insani, Cetakan ke-3 April 2004 M halaman 165, berikut ini adalah kutipan paragraf yang menurut gue cukup menarik untuk direnungkan.

"...
Apakah semua peraturan di bidang keagamaan itu harus dibuang, agar agama menjadi wilayah yang otonom dari negara? Jelas sekali, pendapat yang menyatakan bahwa "agama, pada intinya, harus menjadi wilayah yang otonom dari negara" adalah pendapat yang naif dan impian belaka. Pendapat semacam ini juga sangat aneh. Mereka tidak protes, misalnya, saat negara mengintervensi kehidupan privasi mereka, seperti memaksa rakyat memaki helm atau melarang merokok di tempat-tempat tertentu. Mereka juga tidak protes jika diwajibkan memakin SIM saat mengemudi. Mengapa mereka tidak ngotot bahwa celaka atau tidak itu urasan pribadi. Mereka juga tidak protes jika negara melarang warganya mengkonsumsi narkoba. Nah, apa salahnya jika negara juga melarang dan memberikan sanksi pada warganya yang "meninggalkan shalat lima waktu:, "berzina", "meminum khamar", "tidak berpuasa di bulan Ramadhan", dan berbagai jenis kemaksiatan lainnya? BUKANKAH LEBIH BAIK DIPAKSA MASUK SURGA, DARIPADA DENGAN IKHLAS MASUK NERAKA?!
..."

Sedang dari buku yang lain yaitu buku dengan judul "Sepak Terjang Bisnis para Taipan" karangan Sterling Seagrave (Judul Asli: Lord of the Rim: The Invisible Empire of the Overseas Chinese) terbitan Pustaka Alvabet, Cetakan ke-4 Mei 2005. Dari bagian Epilog ("Matahari Terbit di Pesisir") halaman 334-335 *panjang nih*

"...
Amerika berkeras agar Cina mencangkok sistem demokrasi ala Barat tentang keadilan dan moralitas universal. Orang Asia menanggapinya bahwa kepercayaan dan keadilan bukanlah abstraksi, dan hanya tirani dan korupsilah yang absolut. Taiwan menunjukan bagimana pemerintah yang dilindungi dan diperkaya oleh Amerika ternyata tak berbuat apa-apa untuk memajukan demokrasi, sampai proteksi itu dicabut; kini KMT membeli waktu dari regu tembak dengan melimpahi warganya dengan berbagai kebebasan.

Para pemimpin otoriter seperti Lee Kuan Yew dan Mahatir Mohammad menempatkan reformasi dan kemakmuran di depan libertarianisme politik. Pada saat ini, hal pokok yang dibutuhkan negara Asia, kata mereka, adalah sejenis politik media yang tegar dan tegas, yang sudah lembek di Washington, London, Paris dan Roma.

Kebanyakan orang Asia sangat miskin dan menderita akibat kekerasan. Orang-orang sengsara akan mendukung siapa pun yang menyatakan punya solusi. Rejim-rejim Asia memanfaatkan dambaan akan kemakmuran ini untuk membangun suatu konsensus tentang kekuasaan otoriter. Keberhasilan Singapura menunjukan bahwa untuk sampai di sana dengan cepat dan pasti mensyaratkan adanya tangan yang kuat. Ini juga merupakan pelajaran dari Korea Selatan, yang mencapai perbaikan-perbaikan besar kualitas hidup dengan harga kemerdekaan pribadi. Kemakmuran akhirnya menciptakan ruang gerak, ruang gerak memungkinkan kebebasan lebih besar, dan kebebasan dengan sendirinya mendahului demokrasi. Namun, baik Singapura maupun Korea Selatan dicela Barat karena tidak mengikuti model-model demokrasi -model-model yang berulang kali gagal ditempat lain. Ingar bingar di Amerika soal peristiwa pemukulan di Singapura pada 1994 menunjukan bagaimana fantasi tentang jiwa merdeka terkait dengan fantasi makan siang gratis.

Dengan tradisi evangelisme mereka, dan keyakinan mengantungi mandat ilahiah, orang Amerika terbiasa memaksakan kesombongan mereka untuk dicekokkan ke tenggorokan orang lain. Banyak nasihat Lee Kuan Yew kepada Barat tentang Cina bernada membiarkan Cina Daratan punya nasionalismenya sendiri, dan agar Barat berhenti menekan Cina supaya berperilaku berdasarkan apa yang dilihat Barat sebagai prinsip-prinsip moral "universal".

Suka atau tidak, tradisi Asia menempatkan hak-hak kelompok di atas hak-hak Individu. Ini penting di Cina, sebuah negara yang selalu berada di ambang kelaparan, selalu cendrung terbelah. Jika individu tidak memenuhi kewajiban mereka kepada kelompok -dalam pertanian, pengendalian banjir, dan sebagainya- kekacauan akan muncul. Ada kewajiban untuk menyumbang, bukan hak untuk membangkang. Khonghucu adalah satu usaha untuk merasionalisasikan masyarakat Cina, tugas yang hampir mustahil mengingat kesenjangan-kesenjangan di antara keduanya. Gagasan tentang Cina tunggal yang monolitik adalah propaganda elit penguasa, untuk merawat cita-cita keseragaman.

Lee Kuan Yew mendesak Amerika Serikat agar menjadi teman Cina, bukan menekannya dengan ancaman-ancaman perang dagang. Apakah barat sunguh-sunguh menginginkan Beijing kehilangan kontrol, Cina terbelah, dan kekacauan seperti masa jagoanisme berulang? Orang Jepang sudah belajar bahwa ada banyak Cina, bukan cuma satu. Selain dampak tragisnya terhadap rakyat Cina, yang kehidupannya belakangan ini menyentuh titik peralihan yang menjanjikan, kekacauan menyebabkan migren berat bagi tetangga-tetangga Cina. Satu Beijing yang disibukan oleh kemakmuran, kecil kemungkinannya menimbulkan kesulitan. Jadi kepentingan terbaik Barat terletak pada usaha mendorong kemakmuran Cina
..."

Pada akhirnya gue berfikir, sepertinya demokrasi "hanyalah" alat untuk mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri (buat apa mengagung-agungkan demokrasi kalo pada akhirnya hidup rakyat masih tetap melarat! -tenang gue gak lagi frustasi dengan demokrasi kok!). Banyak cara bagi setiap manusia untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan, ketentraman tanpa melulu harus melalui demokrasi, mungkin...?

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Mungkin eloe bukan Islam ya, karena klo elo Islam, pasti mengerti apa yang dimaksud oleh Adian Husaini itu, Islam harus masuk dalam sendi-sendi struktur pemerintahan, seperti jaman Rasulullah dulu. Gw kasian, klo eloe ngaku muslim tapi ngga pernah mau mempelajari tentang yang satu ini.

Saturday, August 02, 2008 7:35:00 AM