Test Label

 Friday, January 22, 2010

Postingan ini di buat untuk membuktikan kode yang diberikan oleh [phydeaux3] dapat berfungsi menampilkan label pada template Blogger Classic. Sayangnya Label tidak dapat menghitung jumlah halaman (Label Count)... sayang... :(

Labels/Tags tersebut adalah:
- Personal
- Teknologi
- Hobi
- Petualangan
- Masak
- Kuliner
- Iseng
- Inspirasi

DLL tapi ini mungkin juga akan berubah :)

Labels: , , , , , , , , , , , , , , , ,

Masa Depan Tidak Ada Yang Pasti

 Friday, October 03, 2008

Ketika Boeing 747 di luncurkan, beberapa pengamat memperkirakan Boeing 747 hanya akan di produksi sebanyak 400 unit saja, karena adanya pengembangan pesawat supersonic seperti Concorde, faktanya hingga tahun 1993 produksinya sudah melampaui 1000 unit, tahun 2008 sendiri sudah mencapai 1405 unit. Sebaliknya pesawat supersonic yang berhasil dikembangkan dan di produksi hanya Concorde saja, itupun sekarang sudah tidak beroperasi karena besarnya biaya operasional, secara sederhana bisa dikatakan tidak ekonomis.

Ketika Linus Trovalds menciptakan Linux Kernel (bagian inti dari suatu Sistem Operasi), niatnya hanya “untuk senang-senang” (Just for Fun), ketika popularitasnya semakin menanjak seorang professor yang bernama Andrew S. Tanenbaum mengkritik Linux sebagai ketinggalan jaman (obsolete) karena mengembangkan kernel dengan tipe “Monolithic” berbeda dengan GNU Hurd yang kernelnya bertipe “Microkernel”. Sang professor meramalkan bahwa beberapa waktu kedepan Linux akan di tinggalkan, karena orang-orang akan menggunakan GNU Hurd atau BSD, faktanya pengembangan BSD tidak berjalan karena adanya tuntutan hak cipta kepada BSD yang menyebabkan pengembangan BSD menjadi lambat, begitupula dengan GNU Hurd yang ternyata implementasinya cukup kompleks yang memperlambat target release. Akhirnya para pengembang justru memilih Linux Kernel sebagai Sistem Operasi bebas (Free), dan kini Linux lebih popular daripada GNU Hurd dan BSD.

Ketika para pegawai memutuskan untuk mengambil asuransi agar kehidupannya menjadi lebih tenang atau mengambil paket pension agar masa tuanya bisa tetap memiliki uang, Kini di tahun 2008 sebagian harapan itu tidak tercapai karena ternyata pihak yang mereka andalkan tidak mampu memenuhi janjinya. Tahun 2008, Lehman Brother menyatakan bankrut, hal ini menyebabkan kekhawatiran dan demo dari para pegawai yang sudah mengambil paket pension dari Lehman Brother. Di berita yang pernah gue saksikan (kalo gak salah di VOA), orang-orang Amerika yang diwawancari menyatakan kekhawatirannya karena setiap hari uang pension mereka terus berkurang atau hilang alias hangus. Beberapa orang yang diwawancara juga menyatakan mereka akan tetap bekerja meskipun nanti mereka memasuki usia pension akibat ketidakyakinan mereka terhadap paket pension mereka. Ketika orang-orang tahu AIG adalah perusahaan asuransi yang kuat, kini di tahun 2008 perusahaan itu nyaris bangkrut (atau masih akan ada kemungkinan untuk bangkrut?). Diberitakan bahwa beberapa nasabah (jika tidak salah termasuk di Singapura) beramai-ramai mencairkan polisnya karena kekhawatiran polis mereka akan hangus akibat ancaman kebangkrutan perusahaan ini.

Melihat cerita diatas, semakin nyata bahwa kemampuan manusia dalam memprediksi masa depan memang lemah. Manusia hanya mampu menduga dengan akalnya, bahkan manusia mencoba membuat pemodelan terhadap suatu masalah atau domain. Sebagai contoh manusia mencoba membuat pemodelan perubahan cuaca dengan menggunakan computer super canggih, pemodelan pergerakan pasar, pemodelan pertumbuhan jumlah penduduk, dan berbagai pemodelan-pemodelan lainnya. Ketika pemodelan yang manusia buat ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, maka bukan salah dari fakta dari suatu kejadian tapi ketidakmampuan dan keterbatasan manusia dalam membuat pemodelan.

Kemampuan manusia memang terbatas dalam memahami masa depan, maka tidak pantas bagi manusia untuk menyombongkan diri, maka tidak ada salahnya (dan seharusnya) bagi manusia agar lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT. Masa depan memang tidak pasti, tapi kita tetap berharap hal-hal yang baik ingin tetap kita dapatkan, maka berdoa kepada Allah SWT tentu lebih utama, ketimbang menyombongkan diri dengan merasa akal kita adalah segala-galanya, merasa akal kita pasti mampu memprediksi masa depan, faktanya manusia terlalu lemah untuk memahami masa depan dengan akalnya…

Masa depan memang akan tetap menjadi misteri bagi manusia...

Tsunami Finansial

Pertengahan September, jika kita mengikuti berita ekonomi, sebagian besar memberitakan masa depan ekonomi yang bakal suram akibat kasus “Subprime Mortgage”. Di Amerika, beberapa institusi finansial sudah banyak merasakan dampaknya, dari pengambilalihan “Fannie Mae” dan “Freddie Mac” oleh pemerintah AS, kebangkrutan “Lehman Brothers”, dan “American International Group” (AIG) yang juga terancam bangkrut, tapi beruntung masih di suntikan modal oleh pemerintah. Perusahaan yang lain harus rela di akusisi oleh perusahaan lain. Bahkan pemerintah AS yang tadinya sangat membatasi investasi di pasar financial dari modal asing atas dasar nasionalisme, kini terpaksa harus “mengemis” pada negara lain untuk mau menanamkan modalnya di pasar finansial untuk menyelamatkan perekonomian AS.

Bagaimana perusahaan yang besar, berusia lebih dari 100 tahun seperti “Lehman Brothers” harus merelakan dirinya bankrut?. Gue yakin orang-orang yang bekerja di sektor finansial bukanlah orang yang bodoh, mereka tahu resiko apa yang akan terjadi pada aktifitas mereka. Setidaknya menurut gue, kehancuran perekonomian ini karena lebih mementingkan keuntungan semata, ketimbang mempertimbangkan faktor yang lain seperti resiko. Intinya kejadian yang menimpa institusi di AS tidak lepas dari faktor “kerakusan individual” para pelaku di sektor finansial.

Sifat rakus atau tamak memang sepertinya sudah menjadi sifat dasar manusia, tak peduli orang miskin sampai orang kaya, orang bodoh sampai orang pintar memang paling suka mengumpulkan kekayaan materi. Tak segan-segan orang melabrak aturan yang ada demi memuaskan kepentingan pribadi mereka. Beberapa perusahaan finansial yang sekarang terlilit masalah ternyata membayakan gaji untuk “top executive” sangat tinggi, meskipun secara finansial perusahaan tidak terlalu baik. Jadi dengan kekuasaannya para eksekutif ini membuat keputusan yang memberikan gaji dan bonus yang sangat tinggi untuk diri mereka sendiri.

Ketamakan mereka terlihat bagaimana mereka begitu ekspansi memberikan kredit pada pasar “subprime” bukan pada pasar “prime”. Pasar “prime” mensyaratkan pemberian kredit pada seseorang berdasarkan kemampuannya, seperti besar gaji, status pegawai, riwayat peminjaman. Jika seseorang layak untuk di berikan pinjaman karena memenuhi syarat (seperti jumlah gaji, riwayat peminjaman dll) maka pinjaman mereka di sebut sebagai “prime mortgage”, sebaliknya orang yang tidak memenuhi syarat di sebut sebagai “subprime mortgage”.

Secara sekilas pemberian kredit subprime akan mempermudah pihak peminjam, karena syarat pengajuan kredit tidak rumit. Hal ini juga terjadi di Indonesia juga lho, contoh nyata adalah pemberian kredit kepemilikan motor yang syaratnya semakin mudah cukup bawa KTP, bayar uang muka yang tidak terlalu besar, motor bisa langsung di bawa. Syarat kredit seperti ini cukup menggiurkan, tapi juga beresiko. Seorang yang ingin memiliki motor untuk dijadikan Ojek banyak juga yang melakukan hal ini, mengambil kredit motor dengan syarat yang mudah, tapi pada akhirnya harus rela motornya di tarik kembali oleh Dealer Motor karena tidak sanggup membayar cicilan. Lebih-lebih persaingan dalam dunia Ojek di Indonesia semakin ketat, kita bisa lihat hampir di setiap gang atau persimpangan jalan semakin banyak di temukan tukang ojek.

Contoh yang lain adalah semakin mudahnya pembuatan kartur kredit, cukup foto kopi KTP, slip gaji yang di rekayasa, maka kartu kreditpun sudah jadi. Ketika sudah jatuh tempo barulah bingung untuk membayarnya, lebih-lebih setiap keterlambatan akan mengakibatkan beban bunga yang ditanggung semakin besar. Jika tidak sanggup membayar, maka siap-siaplah para preman akan menyatroni rumah untuk menagih hutang.

Apakah para pemberi kredit itu tidak tahu resiko memberikan kredit kepada peminjam yang kemampuan finansialnya tidak terlalu baik? Pastinya tahu, hanya saja di balik resiko yang cukup besar ini, ada kemungkinan keuntungan yang menggiurkan dari bunga yang tinggi. Begitupula yang terjadi dengan kasus “Subprime Mortgage” di AS, dimana perusahaan pembiayaan memberikan kemudahan pemberian kredit, terutama dalam pembiayaan perumahan, termasuk kepada mereka-mereka yang kurang layak untuk mendapatkan kredit. Banyak orang-orang yang mengambil kredit perumahan ini tidak tahu apa isi perjanjian yang mereka tanda-tangani, termasuk biaya tersembunyi (hidden cost) yang harus mereka bayar. Akibatnya bisa di prediksi, ketika orang yang mengambil kredit tidak lagi sanggup membayar, maka terjadilah gagal bayar atau kalo dalam istilah finansial sering di sebut sebagai default.

Ketika mayoritas para pengambil kredit tidak sanggup membayar (default), hal ini berdampak pada lembaga pembiayaan termasuk juga lembaga investasi yang menginvestasikan uang di sector pembiayaan perumahan. Kini kecerobohan bankir dalam memberikan kreditnya mulai terlihat, begitu pula dengan pengelola investasi yang mengejar keuntungan yang besar tanpa memedulikan resiko yang juga besar harus menerima kenyataan dari pecahnya pasar kredit perumahaan di AS.

Kekacauan yang ditimbulkan akibat ketidakhati-hatian dan keserakahan pelaku finansial kini harus ditanggung oleh masyarakat luas. Macetnya kredit mengakibatkan perusahaan tidak dapat melanjutkan usahanya karena ketiadaan modal, dan menumpuknya hutang, akibatnya banyak perusahaan di sektor finansial yang sudah atau terancam bangkrut. Akibatnya bisa di perkirakan, akan banyak penghapusan jabatan yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran di AS. Di tengah ekonomi yang semakin lesu akibat meningkatnya harga komoditi seperti harga Minyak Bumi yang semakin mahal, ancaman PHK yang cukup besar, akan memperparah kondisi perekonomian.

Dampak krisis ekonomi yang dialami oleh AS mau tidak mau pasti berdampak pada negara lain. Negara yang ekonominya cukup kuat seperti Jepang pun harus terkena imbas, apalagi Indonesia, terlebih AS adalah pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia setelah Jepang. Dengan krisis ekonomi yang terjadi di AS maka mau tidak mau akan menyebabkan penurunan konsumsi, yang juga otomatis berdampak pada penurunan ekspor Indonesia ke AS, yang tidak menutup kemungkinan akan menambah jumlah pengangguran di Indonesia karena perusahaan-perusahaan yang mengekspor harus mem-PHK karyawannya karean barang yang mereka produksi tidak laku di jual ke AS, akibat di AS terkena krisis ekonomi.

AS dan para pelaku usaha di negeri mereka menganut sistem pasar bebas, jadi intervensi pemerintah terhadap pasar sangat minim atau bahkan tidak ada. Mereka beranggapan bahwa pasar memiliki mekanisme tersendiri. Nyatanya pasar bergerak liar, berbagai resiko dalam berinvestasi sepertinya tidak dihiraukan, semua demi mengejar keuntungan yang besar walaupun mereka tahu resikonya cukup besar. Kita pasar ternyata tidak memiliki mekanisme kontrol terhadap diri sendiri yang berujung pada krisis, ketidakkonsistenan malah terjadi. Ketika pasar sedang bergairah, para pelaku ekonomi ingin pasar yang bebas dari intervensi pemerintah, ketika ternyata mereka membuat kesalahan yang berujung pada kerugian dan kebangkrutan, para pelaku seolah-olah mengemis pemerintah untuk mengintervensi pasar dengan menyuntikan dana, yang kemungkinan besar akan diambilkan dari uang para pembayar pajak. Aneh, kalo untung aja tidak mau diatur, giliran rugi minta di talangin... licik sekali cara para pelaku ekonomi itu... Memang sih... sektor finansial merupakan sektor yang penting, jika suatu perusahaan "umum" bangkrut dampaknya standar, tapi kalo yang bangkrut perusahaan di sektor finansial seperti bank, lebih-lebih bank nasional, pasti sebisa mungkin akan coba di selamatkan, karena terlalu besar resikonya kalo suatu bank bangkrut, bisa-bisa tidak ada yang bisa menyalurkan kredit yang bisa berdampak pada kelesuan ekonomi

Beginilah nasib dunia jika menggunakan sistem yang mementingkan keuntungan semata, ketika terjadi krisis maka rakyatlah yang menjadi korbannya. Pemerintah AS kabarnya harus meminta persetujuan konggres untuk dapat mengucurkan uang (bailout) sebanyak 700 miliar USD untuk menyuntik membantu perusahaan yang bermasalah. Uang sebanyak itu akan diambil dari dana masyarakat yang dikumpulkan dari para pembayar pajak. Nasib memang, orang lain yang serakah ceroboh (atau bodoh?), tapi ketika terjadi krisis para pembayar pajaklah yang harus menanggung beban ini. Sungguh sistem yang tidak adil! Para manajer dengan gaji yang sangat besar, begitupula dengan bonus yang sangat besar termasuk fasilitas mewah yang didapat ternyata hasil kerjanya malah menghancukan ekonomi negara, masyarakat biasa yang pas-pasan yang harus menanggung dampaknya. Lebih-lebih ketika para manajer itu di pecat, merekapun masih dapat pesangon yang sangat besar (golden parachute) padahal kinerja mereka sangat buruk. Yah lumayanlah dengan prestasi menghancurkan perusahaan yang berdampak pada kehancuran ekonomi negara dan dunia masih di beri bonus, padahal pegawai biasa dan rendahan yang dianggap tidak “perform” harus terima di pecat tanpa pesangon.

Hal seperti inilah yang terjadi di Indonesia pada kasus pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang niatnya mulia, untuk menolong kondisi bank yang sekarat akibat kebobrokan manajemen, tapi yang terjadi uang itu tidak digunakan sebagaimana mestinya, uang yang sangat besar itu dibawa lari oleh para pemilik bank, selain itu jaminan asset yang jaminkan ternyata nilainya sudah di “mark up”. Apakah pemerintah AS tidak belajar dari kasus BLBI di Indonesia? Semoga hal yang niatnya baik tidak berakhir menjadi sesuatu yang buruk. Dunia sedang menanti...

Idealisme Penyiaran

 Friday, September 05, 2008

Semenjak punya handphone yang bisa dengerin radio FM, gw jadi mulai suka denger-denger acara radio, sejujurnya gak terlalu banyak siaran radio yang cukup menarik, sampai akhirnya gue tune-in ke 99.9 FM, nama radionya CNJ (Classic News and Jazz). Isinya ada berita, tapi lebih sering menyajikan musik Jazz, terkadang kalo malam hari ada music Classic. Musik yang di suguhkan cukup menarik, enak di dengar dan di cerna (kayak makanan aja :p), biasanya sih Jazz yang Easy Listening atau Smooth Jazz, tapi jarang gue denger Jazz yang "agak berat" dari artis seperti Miles Davis, John Coltrane, atau era Swing seperti Duke Ellington. Secara umum Jazz yang ditampilkan memang lebih banyak Jazz masa kini, bukan yang jadul-jadul model tahun 30an sampe 60an.

Beberapa minggu ke belakang gue memang sudah jarang denger radio, sampai ketika gue coba ke gelombang 99.9 ternyata gue mendengar musik Rock, dan musik yang sangat tidak biasa di tayangkan radio ini. Gue pikir mungkin itu cuma sesaat, sampai di lain kesempatan gue coba denger lagi dan memang sepertinya sudah berganti format. Udah gitu ada penyiarnya yang gaya bicaranya sok gaul tapi menurut gue gak kedengaran gaul atau asik. Akhirnya gue coba cari tau apa yang terjadi dengan FM 99.9 di google, dan akhirnya dapatlah berita di Warta Jazz, yaitu Selamatkan Radio CNJ 99.9 FM, Jakarta.

Akhirnya gue ngerti, ternyata perubahan format acara itu akibat radio itu di ambil alih oleh Ninetyniners radio asal Bandung. Sejak gue denger radio CNJ, gue sebenarnya cukup salut dan bangga ada radio yang memiliki idealisme dalam menyiarkan aliran Jazz, hebatnya lagi hampir full Jazz dan nyaris tanpa iklan. Nah... karena gue hampir gak pernah dengar iklan, gue sempet bertanya-tanya dari mana pembiayaan operasional radio ini, apakah sekedar hobi dari si pemilik yang memang suka Jazz dan tidak perduli apakah dia untung apa tidak yang penting menyiarkan musik Jazz, atau memang sebenarnya ingin menjaring iklan tapi tidak pernah dapet karena pangsa pasar musik Jazz di Indonesia memang sangat minim?. Saat awal-awal menjadi pendengar CNJ, gue sempat bertanya-tanya, sampai kapan radio ini akan bertahan, dan ternyata waktu telah menjawabnya, radio ini sanggup bertahan sampai 20 Agustus 2008, 5 tahun setelah mengudara (menurut versi yang di dapat di internet)

Sepertinya di Indonesia Idealisme Penyiaran untuk target segmen tertentu memang masih sulit di laksanakan. Kecuali segmen Musik Dangdut dan Pop yang merupakan segmen yang sangat besar dari bangsa Indonesia, segmen musik selain Dangdut dan Pop sebagian besar memang tidak bisa bertahan lama, kalo cari info-info di internet, beberapa stasiun radio yang mendikasikan untuk menayangkan aliran musik tertentu seperti musik Rock juga sudah mati, Musik Jazz juga sama. Jadi aliran musik yang bukan Mainstream seperti Dangdut dan Pop memang sepertinya kurang bisa berkembang di Indonesia.

Beberapa memang ada yang masih bertahan, seperti radio KLCBS di Bandung yang ketika gue main ke Bandung gak sengaja tunning ke 100.4 FM dan ternyata menampilkan musik-musik beraliran Jazz seperti halnya CNJ di Jakarta. Bedanya di KLCBS gue masih sempat mendengar iklan, beda dengan CNJ yang sepertinya nyaris tanpa iklan. Kalo kata temen gue yang asal Bandung konon katanya jumlah stasiun radio terbanyak di dunia, nah kalo yang ini memang harus di verifikasi lebih lanjut bener gak omongan temen gue ini. Kalau memang bener, ya gak heran juga kalo memang ada segmen musik tertentu di Bandung, karena sangat banyaknya stasiun radio, sehingga memunculkan stasiun radio yang mengkhususkan pada segmen tertentu (sok tau :p)

Beberapa stasiun televisi nasional juga begitu, contohnya tujuan pendirian TPI adalah sebagai Televisi Pendidikan Indonesia, tapi sekarang acaranya banyakan dangdut, sehingga tidak aneh juga kalo TPI di sebut sebagai Televisi Perdangdutan Indonesia. Selain TPI ada juga Metro TV, yang tadinya bercita-cita menjadi televisi berita seperti CNN, nyatanya sekarang banyak juga acara-acara selain berita, seperti musik (sempat ada acara musik latin), film, dan yang terakhir gw sempet liat ada Sitkom (komedi situasi). Bagaimanapun Metro TV masih lebih mending dalam mempertahankan idealismenya ketimbang TPI. Sepertinya memang tidak mudah untuk mempertahankan idealisme di dunia penyiaran Indonesia. Lebih-lebih tujuan akhir dari suatu acara sepertinya hanya mengejar rating semata yang ujung-ujungnya akan jatuh ke urusan pendapatan tanpa peduli apakah acara yang disiarkan akan berdampak positif apa negatif, yang penting rating bagus, dan untung besar. Maka tak heran acara di televisi sebagian besar (menurut gue) berisikan sinetron yang tidak layak tonton, lebih-lebih untuk anak-anak.

Meskipun mempertahankan idealisme terlihat sulit di Indonesia, nyatanya masih ada saja pihak yang berusaha tetap mempertahankan idealisme ini, contohnya di Bogor ada radio yang mencoba menyiarkan acara-acara yang berkaitan dengan Dakwah Islam. Radio ini berada di gelombang 91.4 FM. Jangkauan siarannya yang pernah gue coba adalah sampai daerah Cilandak, dan UKI cawang (biasa dengerin saat nungguin Bis pulang). Secara materi, acara yang ditampilkan cukup bagus, walau kadang untuk hal tertentu materi yang disampaikan "tidak umum" dengan kondisi di Indonesia (tapi "tidak umum" belum tentu jelek lho... mungkin butuh waktu untuk bisa diterima masyarakat). Secara bisnis, radio ini menerima iklan walau tidak terlalu banyak. Kadang agak "janggal" juga ketika kita mendengar acara yang membahas soal hari akhirat (yang menurut gue terasa "mencekam" kalau di bayangkan), tiba-tiba ada jeda iklan (seperti iklan makanan atau tempat makan), jadi emang rada "janggal" juga hal yang "serius" ketemu dengan hal yang "duniawi"...

Ya semoga orang-orang yang memiliki idealisme tersebut masih bisa bertahan di dunia penyiaran, meski di satu sisi tuntutan materi tidak bisa di hindari.... sebagai masyarakat gue berharap siaran yang diterima bisa memberikan tuntunan, pencerahan dan inspirasi yah hal-hal yang positif lah... bukan malah hal-hal negatif...

Btw gw jadi berfikir juga, apa yang gue tuliskan di blog ini sudah membawa hal positif buat orang lain atau cuma sekedar "junk" di tengah samudera internet....? :p hehehe sory kalo memang blog ini ternyata tidak ada manfaatnya :D

Interview

 Tuesday, August 12, 2008

Hari ini gw dapet tugas... menginterview orang, jumlahnya lumayan, 3 orang :). Gile gak nyangka juga gue... akhir-akhir ini gue jadi suka di suruh meng-interview orang, padahal biasanya gue kan yang suka di interview waktu pas ngelamar pekerjaan :D

Terus terang pengalaman menginterview cukup menarik juga. Gue jadi inget pertama kali interview rasanya aneh aja... biasa di interview tiba-tiba berada di posisi harus meng-interview, tapi namanya tugas ya harus di laksanakan walau gue sampe sekarang tetep kurang PD kalo harus interview sendiri, lebih sering gue berdua ama temen gue menginterview. Tapi seru juga... kesannya kita udah gimana gitu.... udah bisa mengiterview orang, padahal kitanya sendiri juga mungkin ngerasanya gak terlalu jago banget...

Pengalaman menginterview gw mungkin gak terlalu banyak, sama yang hari ini... jumlahnya bisa diitung dengan jari, yah sekitar 8 orang lah, yang akhirnya di terima 2 orang. Dan dari 2 orang itu gue cukup puas karena secara skill kedua orang itu lumayan OK pekerjaannya :D yah lumayan juga sih bisa merasakan meng-assess kemampuan orang :p

Gue bersyukur pernah punya pengalaman pake beberapa framework, seperti spring framework, hibernate, apache commons, dll, karena framework ini lah yang biasa gue tanyain waktu interview, ternyata tidak semua orang yang dipanggil wawancara cukup familiar dengan framework tersebut. Kadang gue juga suka nanya perbedaanya antara "Abstract Class" dengan "Interface", kadang juga nanya soal "Design Pattern"-nya si Gang of Four (GoF - Erich Gamma, Richard Helm, Ralph Johnson, & John Vlissides) walau gue sendiri belum hafal semua, tapi setidaknya kalo orang yang di interview bisa jawab minimal menyebut salah satu pattern, setidaknya gue jadi bisa menilai kalo orang ini cukup memahami konsep OOP (Object Oriented Programming), dll.... Btw mungkin juga anda-anda tidak sepakat dengan pendapat gue ini, gak papa kok... ini emang opini gue aja sih dalam menilai konsep OOP seseorang :D

Di interview, biasanya suka di kasih soal test buat di jawab sebelum masuk ke interview. Entah kenapa ya? kalo gue pribadi lebih suka, atau lebih senang menilai orang dari wawancara ketimbang lihat hasil soal test yang dikerjainnya, karena dari situ kita bisa lihat respon orang yang kita interview. Ada yang di testnya biasa-biasa aja, tapi setelah di pancing saat interview, ternyata dia bisa melakukan atau menguasai suatu tertentu. Atau ada juga di CV tertulis menarik, setelah di wawancara ternyata biasa saja... cukup menarik.

Gw sempet dapet orang yang udah dapet SCJP Java 5, gue udah mikirnya bakal jago banget, dan gue bisa merasa keder kalo nanya-nanya, karena gue sendiri belum pernah ambil SCJP :p, tapi setelah di jalanin dengan mengiterview ternyata biasa-biasa aja, gak wah-wah banget skillnya, beberapa konsep tidak terlalu di kuasai, beberapa class juga tidak terlalu diingat. Contohnya, ada pertanyaan "class java apa aja yang ada di package "java.util"? Terus terang dulu gue juga jarang pake jadi kurang tau, tapi setelah lebih sering main di di dunia Java, secara tidak sadar kita jadi lebih tau, class apa aja... seperti Map, List, Set, Date, dll, nah jadi dari pertanyaan "class java apa aja yang ada di package java.util.*?" itu bisa dijadikan salah satu bahan penilaian apakah seseorang berpengalaman dengan Java API apa tidak?. CV boleh aja bilang "gue bisa ini bisa itu", tapi kadang pertanyaan tertentu saat interview bisa lebih di gunakan untuk menentukan atau menilai seberapa "hands-on" seseorang dengan suatu teknologi.

Hal lain yang gue pelajari selama menjadi peng-interview adalah..., kadang menilai seseorang untuk diterima kerja atau tidak itu ternyata sangat subyektif. Boleh jadi dia jago, di wawancara OK, tapi ya kadang kalo emang gak ada "chemistry"-nya ya gak bisa juga untuk diterima, atau bahasa halusnya... dan hal itu masih belum bisa di jelaskan secara akal sehat dan logika oleh gue... Untuk riwayat pendidikan, entah kenapa gue rasanya kurang terlalu memperhatikannya... Gue lebih suka langsung lihat CV dari pengalaman kerjanya ketimbang dia jebolan universitas mana atau berapa IP-nya... Tapi kalo untuk "fresh graduate" kadang jadi lihat tempat kuliah dan IP-nya...

Pernah gue meng-interview orang yang lulusan dari suatu universitas terkenal dari Australia, sebut saja "M University", ternyata pengalamannya menurut gue masih agak kurang, dan waktu pas di tanya memang sepertinya kurang menguasai pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan. Yah hasilnya bisa di tebak, gue sama temen gue gak merekomendasi orang ini ke HRD, kami malah menerima orang yang baru lulus beberapa bulan dari universitas lokal, meski dia tidak terlalu banyak pengalaman, entah kenapa dari cara dia menjawab dan menerangkan, kami mendapat kesan kalau orang ini bisa di kembangkan kemampuannya walau dia belum terlalu paham dengan pertanyaan yang kami ajukan. Dan setelah di terima, hasil pekerjaannya cukup lumayan untuk ukuran orang baru lulus.

Kadang gue mikir setelah itu, "Orang di terima pekerjaan itu emang kadang gak semata-mata karena kemampuan, tapi butuh hoki juga", gak tau ya pendapat gue itu bener apa enggak.... tapi yang jelas perasaan gue sekarang sih kayak begitu.... "Hoki" atau "Keberuntungan" memang suatu hal yang masih misteri :D