Diplomasi & Kekuatan Angkatan Bersenjata

 Monday, March 14, 2005

Membaca buku-buku sejarah sebagai "bacaan santai" gue rasa lebih menyenangkan ketimbang membaca sejarah secara "serius" untuk mendapatkan nilai (yang baik) seperti yang pernah gue (atau kita semua) alami waktu ikut pelajaran sejarah di sekolah dulu. Dulu gue benci pelajaran sejarah dan gue juga benci sama sebagian guru-gurunya. Padahal selalu ada hal yang dapat kita petik dari sejarah pengalaman manusia-manusia terdahulu, dan itu menarik lho.. Kadang dengan membaca sejarah itu bisa membawa kita untuk menyimpulkan sesuatu peristiwa. Kemarin gue baca kembali bukunya Pierre Heijbor terbitan Grasindo-KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal,-Land- en Volkenkunde) yang berjudul "Agresi Militer Belanda". Buku ini menceritakan kisah "perjuangan" bangsa Belanda mendapatkan kembali tanah jajahannya di Pending Zamrud sepanjang Khatulistiwa dan perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang baru di proklamasikan.

Setelah membaca berbagai buku seperti buku "Agresi Militer Belanda", buku sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dan sumber bacaan lainnya gue kok jadi berkesimpulan bahwa "Diplomasi Tanpa Kekuatan Angkatan Bersenjata adalah Omong Kosong". Mungkin akan ada orang yang tidak setuju dengan kesimpulan gue, tapi gue berkeyakinan suatu diplomasi akan tetap berarti ketika pihak yang bertikai saling menghormati satu sama lainnya. Suatu pihak akan menghormati pihak yang lainnya ketika pihak yang lainnya memiliki "wibawa". Kewibawaan bisa muncul dengan berbagai cara, salah satunya adalah kemampuan mempertahankan "hak-hak"-nya, yang jika memang diperlukan dengan kekuatan angkatan bersenjatanya.

Setelah Jepang menyerah segelintir orang Indonesia mengambil resiko besar yang akan menjadikan mereka pahlawan atau penghianat. Diantara keduanya adalah Soekarno dan Hatta cs. yang memilih memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang menyerah kepada sekutu. Setelah selesai Perang Dunia II, Belanda ingin kembali menguasai Hindia Belanda yang mereka kuasai. Keinginan itu bertentangan dengan sebagian besar keinginan bangsa Indonesia. Akhirnya kontak bersenjata tidak dapat dielakan antara Belanda dengan Indonesia. Ketika Belanda keteteran menghadapi serangan sporadis gerilyawan Indonesia, Belanda memutuskan untuk mau menerima kegiatan diplomasi dengan Republik Indonesia, kegiatan diplomasi yang pertama menghasilkan perjanjian Linggar Jati.

Setelah perjanjian Linggar Jati dianggap tidak menguntungkan ditambah rasa percaya diri Belanda dengan kemampuan angkatan bersenjata-nya akhirnya Belanda melancarkan peperangan kembali dengan pihak Republik. Ketika Belanda mulai kesulitan mengatasi perlawanan gerilyawan akhirnya Belanda mau berdiplomasi kembali dengan pihak Republik dengan menerima hasil perundingan yang dilakukan di kapal USS Renville. Hasil diplomasi lebih dikenal sebagai Perjanjian Renville. Hasil perjanjian ini menimbulkan konflik internal bagi keduabelah pihak. Di Indonesia keputusan ini menimbulkan pertentangan antara politisi dengan tentara. Akibat peristiwa ini jatuhlah Kabinet Amir Syarifudin, dan diganti oleh Kabinet Hatta. Kabinet Hatta berkomitmen untuk menerima keputusan perjanjian Renville, ironisnya Amir Syarifudin cs yang sebelumnya menerima hasil perjanjian Renville, karena tersingkir dari pemerintahan malah berbalik menentang isi perjanjian Renville.

Setelah perjanjian Renville kedua belah pihak menghadapi masalah yang sama-sama berat. Pihak Republik harus melawan pemberontakan Front Demokrasi Rakyat FDR/PKI di Madiun tahun 1948 oleh Muso bersama Amir Syarifuddin yang kini bergabung dengan Muso setelah tersingkir dari pemerintahan. Kekuatan bersenjata FDR/PKI di dukung oleh tentara yang sebagian sakit hati akibat program Re-Ra (Restrukturisasi & Rasionalisasi). Program Re-Ra ini merampingkan jumlah tentara, menyatukan komando Laskar-Laskar kedalam satu komando yaitu TNI, serta penurunan pangkat tentara-tentara agar proporsional, bahkan Jendral Soedirman yang merupakan pimpinan angkatan perang juga harus diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Jendral (meski setelah wafatnya pangkatnya dinaikan secara anumerta menjadi Jendral penuh). Di pihak Belanda terjadi pertentangan diantara politisi-politisinya, dan di Indonesia tentara Belanda menghadapi kendala kekurangan logistik, belum lagi serangan gerilyawan yang masih berlangsung.

Beruntung Republik Indonesia berhasil memadamkan pemberontakan FDR/PKI dalam waktu relatif singkat, karena jika tidak pihak Republik harus menghadapi dua musuh sekaligus. Karena pertikaian politik di dalam negerinya, pihak Belanda terlalu lambat memanfaatkan peluang emas untuk merebut kembali tanah Indonesia. Ketika Belanda akhirnya memutuskan keluar dari ikatan perjanjian Renville, pihak Republik masih kelelahan akibat konflik bersenjata yang tidak perlu dengan FDR/PKI. Implikasi dari keluarnya Belanda dari perjanjian Renville, Belanda memutuskan untuk merebut ibukota RI, Yogyakarta tahun 1948. Belanda berhasil menangkap politisi-politisi Indonesia seperti Soekarno, Hatta, dkk. Bangsa Indonesia menyebut aksi penyerbuan Belanda ke Ibukota RI ini sebagai Agresi Militer Belanda ke-2. Belanda menyebutnya sebagai aksi Polisional.

Ketika Belanda berhasil menangkap pemimpin Republik, Belanda tidak mau berdiplomasi dengan Indonesia. Belanda tidak mau lagi menghormati eksistensi Republik Indonesia, karena dengan ditangkapnya pemimpin Republik Indonesia, perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melawan Belanda dianggap sudah selesai. Mungkin pikiran Belanda, "Buat apa gue harus berdiplomasi dengan orang-orang yang lemah?". Meski pemimpinnya ditahan, Tentara Nasional Indonesia tetap solid dan mampu menunjukan eksistensinya dengan melakukan Serangan Umum 1 Maret yang dipimpin oleh Soeharto (kini mantan Presiden RI). Akibatnya dunia Internasional semakin sadar bahwa Republik Indonesia belum tamat, dan Negar-negara buatan (boneka) Belanda semakin menaruh simpati dengan kepemimpinan Republik Indonesia. Serangan Umum 1 Maret itu mengakibatkan tekanan dari banyak negara di Dunia kepada Belanda untuk mau melakukan perundingan dengan Indonesia. Terutama Amerika Serikat yang menjadi sekutu utama Belanda turut menekan, karena AS melihat kemampuan Republik Indonesia dengan TNI yang berhasil menumpas PKI setelah selama ini pihak Belanda menuduh pemerintah Republik berfaham komunis.

Pihak Indonesia mengajukan pembebasan pemimpin mereka yang di tawan seperti Soekarno & Hatta sebelum melakukan perundingan, dan Belanda terpaksa mengikuti keinginan Republik Indonesia. Karena kekuatan bersenjata yang dilancarkan Tentara & Rakyat Indonesia ditambah tekanan Internasional cukup kuat, bahkan mengancam perekonomian Belanda yang baru pulih setelah Perang Dunia II. Akhirnya Belanda terpaksa mau melakukan kegiatan diplomasi dengan Indonesia. Padalah ketika kekuatan angkatan perang Indonesia dianggap lemah oleh Belanda, Belanda sama sekali tidak mau melakukan diplomasi dengan Republik Indonesia. Dengan kekuatan angkatan bersenjata, maka diplomasi dapat dilakukan.

Republik Indonesia akhirnya secara resmi mendapatkan pengakuan kemerdekaan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949 (padahal mejanya oval lho... kenapa namanya bukan Konferensi Meja Oval?). Dari peristiwa itu gue berkesimpulan bahwa unjuk kekuatan angkatan bersenjata RI telah mampu memaksa Belanda untuk mau Berdiplomasi dengan Republik Indonesia.

Contoh yang lain adalah, perebutan Irian Barat (Papua) tahun 60-an. Setelah kegiatan diplomasi buntu, Operasi Trikora dilancarkan RI untuk mendesak penyerahan Irian Barat dari Belanda. Kesuksesan operasi ini memaksa Belanda untuk untuk mau maju ke meja perundingan. Tanpa kekuatan bersenjata tentu akan lebih sulit bagi Indonesia untuk dapat berunding dengan Belanda.


Di dunia ini tidak sedikit kegiatan diplomasi yang tidak kunjung menghasilkan perdamaian, dan gue berkesimpulan semua itu akibat salah satu negara tidak memiliki kekuatan bersenjata yang mengimbangi kekuatan bersenjata lawan. Contohnhya adalah negara Israel. Ketika kekuatan bersenjata Mesir mampu mengalahkan Israel di kawasan Sinai, Israel terpaksa mau berdiplomasi dengan Mesir, mungkin juga karena Israel khawatir jika tidak tidak diadakan perdamaian dengan Mesir maka Mesir akan semakin kuat dan bisa-bisa Israel habis di bantai Mesir dan Negara Arab lainnya. Setidaknya gue sampe hari ini gak dengar konflik antara Mesir dan Israel secara serius.

Tapi konflik Israel dengan yang lainnya ada yang hingga kini tidak juga terselesaikan yaitu konflik Israel dengan Palestina. Tidak sedikit perjanjian perdamaian yang telah dilakukan antara Isreal dengan Palestina, tapi hingga kini perang masih terus berlanjut di kawasan Israel-Palestina. Mengapa Israel begitu mudahnya untuk berperang dengan Palestina?, mungkin karena pihak Palestina dianggap tidak memiliki kekuatan bersenjata yang dapat mengancam eksistensi Israel sehingga hasil diplomasi selama ini seperti tidak banyak guna alias "Omong Kosong". Gimana Palestina mau dipandang, tentara Israel punya Tank Merkava yang canggih ditambah persenjataan yang lengkap, sedangkan Palestinya cuma punya batu atau ketapel untuk senjatanya. Katanya, konstitusi Israel hingga kini tidak memiliki aturan yang jelas soal batas wilayah Israel. Bahkan Pemimpin Israel wanita yang bernama Golda Meir pernah mengatakan bahwa "Wilayah Israel adalah sepanjang tentara Israel mampu mendudukinya".

Pihak Palestina hingga kini memang tidak memiliki kemampuan bersenjata seperti Israel sehingga wajar jika Israel tidak menganggap perlu untuk berlama-lama damai dengan Palestina. Dulu pernah gue baca, orang Palesina geram pada dunia arab yang dianggap tidak peduli dengan mereka, mereka bahkan pernah menyatakan "Berikan saja kami senjata, dan biarkan kami sendiri yang menghadapi Israel". Nyatanya hingga hari ini Palestina tidak memiliki persenjataan yang memadai sehingga sepertinya jalan damai akan sulit diterima bagi Israel. Jika Palestina memiliki kemampuan bersenjata yang mampu mengimbangi Israel, mungkin Israel akan berfikir berkali-kali untuk melanggar kesepakatan perdamaian dengan Palestina.

Amerika selalu berkoar-koar soal perlunya demokrasi di negara lain-lain, tak jarang mengecam negara yang dianggap Amerika tidak melaksanakan demokrasi, seperti Myanmar (dulu Burma). Tapi Amerika tidak berani mengecam tindakan tidak demokratis pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC), kenapa? mungkin disamping RRC adalah pasar yang potensial, RRC juga dianggap memiliki kekuatan bersenjata yang memadai. Bahkan RRC dipercaya memiliki senjata nuklir yang membuat Amerika untuk berfikir berkali-kali ingin mengkritik RRC pada isu-isu sensitif yang dapat menimbulkan perang dengan RRC. Bagitupula dengan negara India dan Pakistan yang dipercaya memiliki senjata Nuklir. Mungkin sudah saatnya Indonesia memiliki senjata Nuklir, bukan untuk menyerang negara lain, tapi semata-mata untuk mempertahankan kedaulatan negara ini! Ketika negara Indonesia dianggap mampu mempertahankan hak-haknya maka pihak asing akan berkali-kali berfikir untuk mengambil hak-hak yang berada di tangan Indonesia.

Dari peristiwa-peristiwa itu gue semakin yakin bahwa diplomasi dan perdamaian tidak akan berarti tanpa kekuatan angkatan bersenjata. Orang yang kuat tidak mau gampang untuk berunding dengan orang yang lemah. Apa yang bisa di lakukan oleh orang lemah ketika hak-haknya di serobot oleh orang yang kuat? Mau protes? protes sama siapa kalo orang-orang yang lainnya lebih menghormati dan takut sama orang yang kuat?. Mungkin benar istilah "Jika ingin perdamaian maka harus bersiap untuk berperang"... Orang lain harus dipaksa untuk mau berdiplomasi dan berdamai dengan kita, jika tidak mau paksa dengan angkatan bersenjatnya alias perang.... IMHO lho.... :)

~pengamat-amatir :p

0 Comments: