Malang tak dapat di tolak

 Thursday, March 03, 2005

Copet sekarang makin gila dan nekat, anak Fasilkom UI angkatan 2001 yang baru di wisuda kemarin menjadi korbannya, beritanya ada di koran kompas tanggal 28 Februari. Turut berduka cita buat Harianto yang menjadi korban copet nekat dan gila sehingga harus meninggalkan alam fana ini selama-lamanya. Semoga keluarga yang ditinggalkannya tetap tabah menerima cobaan yang berat ini.

Sejujurnya gue kurang tau siapa Haryanto, tapi katanya dia itu anak yang pandai lulus 3,5 tahun dengan IPK 3,8. Ekonomi orang tuanya biasa-biasa saja bahkan ibunya harus berjualan kue untuk menghidupi ekonomi keluarga. Sungguh nasib orang memang tidak ada yang tahu, padahal katanya Haryanto ini adalah andalan keluarganya, kebetulan dalam satu keluarga dia termasuk yang terpandai.

Mendengar kisah Haryanto, gue jadi teringat dengan cerita dari 30 kisah teladan karya H Abdurahman Arroisy (spell?). Buku ini sering gue baca jaman-jaman SD dulu. Ada salah satu cerita tentang seorang petani yang sederhana, dia bertekad menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang pendidikan yang tinggi. Anaknya itu di sekolahkan di Kedokteran. Untuk membiayai pendidikan anaknya, sang orang tua yang petani itu harus merelakan sebagian tanahnya di jual untuk memenuhi biaya kuliah anaknya.

Karena petani itu masih memiliki anak-anak yang lain, sang petani berharap agar kelak ketika sang anak sulung itu lulus dari kuliah kedokteran, dia dapat membantu biaya hidup adik-adiknya. Setelah bertahun-tahun kuliah, akhirnya selesai juga pendidikan anak itu, namun rencana sang petani itu tidak dapat terwujud karena suatu saat setelah di wisuda anak yang telah menjadi dokter itu mendadak sakit keras. Biaya untuk mengobatinya tidak sedikit, karena berfikir jika kelak anaknya sembuh maka sang anak petani dapat segera membantu orang tuanya, maka petani itu merelakan tanah yang tersisa di jual semuanya agar anaknya sembuh.

Setelah berbulan bulan di rawat akhirnya anak itu sembuh juga, dan sang petani sangat berharap agar anak yang telah menjadi dokter itu dapat segera membantu meringankan beban hidupnya membiayai adik-adiknya, mengingat sang petani sudah tidak memiliki harta lagi setelah semuanya di berikan untuk pendidikan dan penyembuan sakit anaknya. Namun malang tak dapat di tolak, untung tak dapat diraih, pada saat perjalanan pulang menuju rumah sang petani, si anak ini mendapatkan kecelakaan yang menyebabkan anak yang sangat diharapkannya itu meninggal dunia saat itu juga. Tentunya rasa kecewa dan sedih bercampur menjadi satu di dalam benak sang petani itu.

Hikmah apa yang terkandung dalam cerita itu, gue juga gak tau secara pasti, mungkin cerita itu ingin menunjukan bahwa: manusia boleh memiliki kehendak, namun Allah jua lah yang akhirnya menentukan. Gue sempat berandai-andai... kalau saja sang petani ini tahu bahwa kelak anaknya tidak bisa memenuhi cita-citanya yaitu meringankan bebannya dalam menghidupi anak-anaknya, tentunya sang petani ini tidak akan 'ngoyo' menghabiskan semua hartanya untuk anaknya itu (yang jadi dokter)... masalahnya memang manusia tidak akan pernah tau bagaimana nasib masa depannya... Termasuk dukun yang sering ditanya tentang nasib masa depan orang... Kalo dukun tau masa depan kenapa gak dia manfaatkan aja pengetahuannya buat dirinya sendiri... seperti mengetahui nomor judi (togel?) & masang nomor yang bakal keluar itu, biar dia gak perlu jadi dukun lagi...
External Link: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0502/28/utama/1584850.htm

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

arih: vi, menurut gua si petani itu mungkin 'rugi' dalam perhitungan duniawi, tapi, dalam menjemput rezeki yang dihisab bukan jumlah rezeki (yg sudah ditetapkan dari Allah) tapi jalan mana yang kita tempuh untuk menjemputnya. Mungkin banyak orang yang kaya harta tapi lewat jalan yang buruk, ini yang bener2 rugi.

Friday, March 04, 2005 9:18:00 AM  

Blogger alvifauzan said...

Ya... Oke si petani anggap tidak rugi menurut perhitungan duniawi, tapi bagaimana dengan nasib anak-anak yang lainnya...? karena mereka memiliki hak yang sama dengan kakak sulungnya, karena harapan yang terlalu berlebihan dari sang petani akhirnya hak anak-anak yang lainnyanya jadi terabaikan... ya mungkin itu juga cobaan buat anak-anak sang petani itu.

Friday, March 04, 2005 2:23:00 PM  

Anonymous Anonymous said...

lintang_utara@yahoo.com

seharusnya petani itu tau kalo pendidikan adalah salah satu bentuk investasi..

ada teori berinvestasi yg bilang, jangan menaruh semua telur dalam SATU keranjang..

btw, gua setuju ama lo vi, akibatnya anak2 yg lain terabaikan..

Friday, March 04, 2005 11:03:00 PM