Ibu Pejual Nasgor

 Thursday, January 06, 2005

Jam sudah menunjukan sekitar pukul 23.45, tiba-tiba terasa perut terasa lapar, padahal sebelumnya sudah makan. Meskipun agak ragu, akhirnya coba-coba cari makanan, barangkali masih ada penjual makanan yang belum tutup. Maklum kalo sudah tengah malam agak susah cari penjual makanan yang masih buka. Setelah berjalan agak jauh akhirnya ada penjual nasi goreng. Letaknya tidak jauh dari Terminal Bubulak Bogor. Penasaran, karena sepertinya gue baru sadar kalo di tempat ini ada penjual nasi goreng.

Akhirnya coba beli makanan ditempat itu, ternyata yang tampak adalah seorang ibu yang sedang tidur di bale-bale dekat warungnya. Dengan nekat gue coba bangunkan ibu itu yang ternyata adalah penjual nasi goreng. Tanpa terlihat ditemani seorangpun, si ibu ini menyiapkan beberapa bahan untuk di jadikan nasi goreng. Dengan iseng gue coba ngobrol-ngobrol. Iseng nanya apa bener dia jualan sendirian, dan ternyata memang benar dia jualan sendiri tanpa ditemani siapapun. Dalam hati gue geleng-geleng seorang ibu ditengah malam sendirian dengan nekat tetap berjualan, apa gak takut kalo tiba-tiba ada orang berniat jahat dengan dia.

Setelah makanan yang dipesan habis, dengan sendirinya si ibu melanjutkan ngobrol setelah sebelumnya terhenti saat gue makan. Dia cerita hal-hal berkaitan dengan jualannya, dari situ pembicaraan melebar kemana-mana. Akhirnya jadi diketahui kalo si ibu ini berasal dari jawa, tepatnya kota semarang. Suami dan anak-anaknya berada di Solo. Ibu ini memiliki 2 anak yang paling tua sedang kuliah dan dia berharap dalam waktu tidak sampai setahun anaknya yang paling tua dapat segera lulus dari suatu universitas di kota Solo. Sedang anak yang kedua masih melanjutkan SMA masih dikota yang sama, kota Solo.

Suaminya adalah seorang pensiunan TNI-AU, sekarang dia tinggal di Solo. Disana suaminya mengurus sawah yang dimilikinya, dan itu berarti dia memang benar-benar seorang diri di kota Bogor ini. Sempat ketika ditanya apa dia tidak takut sendirian berjualan tanpa ditemani siapa-siapa, dia menjawab kalo adiknyapun yang tinggal dijakarta pernah menanyakan hal itu padanya, dia bilang "Yah saya sih pasrah aja kalo ada apa-apa, tapi sejauh ini sih belum pernah ngalamain hal-hal yang gek diinginkan". Lanjutnya "Di tempat ini deket terminal, ada tukang ojek dan penjual rokok, jadi ya saya gak takut-takut amat. Awalnya sih memang takut jualan disini tapi lama-lama ya biasa aja, malah sering juga saya tidur sendirian di warung ini sampe pagi".

Sebelumnya si ibu ini berjualan di ATS (Landasan Udara TNI-AU Atang Senjaya, Bogor), bahkan kini dia juga masih punya kios di sana, pembantunya yang mengelola kios itu. Ketika gue tanya kenapa gak jualan disana aja, dia bilang sih katanya kadang-kadang aja tapi dia lebih sering jualan di tempat yang sekarang, soalnya sayang kalo gak di terusin. Niatnya sih tempat itu pengen dijual tapi yang nawarnya selalu ngasih harga yang tidak sesuai. Kebetulan warung yang didirikan itu berada di lahan Pemkot, jadi yang dimaksud di jual adalah bangunan warungnya bukan tanahnya.

Ibu penjual nasgor itu juga pasrah kalo sewaktu-waktu nanti pemkot akan menggusur, karena dia juga memang sadar, warung yang didirikannya berdiri di atas tanah pemkot. Ketika ditanya berapa dia harus bayar, dia menyebutkan tidak tentu tapi biasanya kalo ada aparat ya biasanya bayar 5000 rupiah. Kadang jika pemerintah, entah pemkot, kelurahan atau kecamatan mau mengadakan acara semacam pesta, atau ulang tahun pejabat, biasanya dia dimintai sumbangan. Aduh kok jadi aneh sih, masak untuk acara pesta atau ulang tahun kok sampe tega-teganya minta uang sama pedagang kecil sih?

Ketika gue tanya kenapa gak ikut suami aja di Jawa?. Dia bilang kalo dia memang sempat tinggal satu tahun di Solo bareng suaminya untuk bertani. Cuma dia bilang karena merasa gak biasa dia paling hanya bisa mengawasi para petani yang mengelola tanahnya, kalo sampai turun tangan untuk bercocok tanam dia tidak biasa. Ditambah lagi selama ini dia merasa lebih pengalaman berjualan ketimbang bercocok tanam.

Selain tidak cocok sebagai petani, dia juga mengeluhkan kalo sebagai petani tidak bisa terlalu diharapkan, karena jika bertani hanya saat panen biasanya mereka memiliki uang, sedangkan kebutuhan sehari-hari tidak boleh putus. Meski suaminya memiliki uang pensiun, tapi rasanya uang pensiun itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga terpaksa dia harus mencari penghasilan lainnya.

Dia mengatakan bahwa dia dan suaminya bisa dikatakan terlambat memiliki anak, jadi ketika mereka pensiun pendidikan anak-anak mereka masih jadi tanggungan. Kemudaian dia bilang "Kalo bukan karena anak, saya juga gak mau nerusin jualan ini dik, karena masih belum pada lulus ya saya bela-belain jualan disini, kalo akhir bulan saya kirim beberapa ratus ribu untuk biaya mereka". Dalam hati gue, luar biasa pengorbanan ibu ini, benar-benar wanita yang tangguh, ibu yang berani menempuh resiko berjualan meskipun sendirian jauh dari keluarganya.

Ibu itu juga bercerita kalo dia seringkali kesulitan uang, dia mengatakan kalo dia berbelanja seringkali berhutang dulu, baru ketika awal bulan sebagian utangnya di bayar. Dia mengatakan pernah suatu hari uang yang ada ditangannya hanya 1000 rupiah saja, padahal bahan-bahan untuk jualannya harus terus dibeli agar hari itu dia dapat berjualan, jadi solusinya ya harus berhutan dulu. Dengan senyum kecut, gue jadi seperti disadarkan betapa beratnya hidup ini bagi orang semacam Ibu penjual nasgor ini. Kontras dengan kehidupan gue atau orang-orang yang memiliki nasib yang "lebih baik". Gue sengaja menggunakan tanda kutip (") karena gue juga gak tau apa bener orang yang memiliki kelebihan secara materi memang benar-benar memiliki nasib yang lebih baik dari si ibu ini...

Tekad si ibu ini agar anaknya dapat tetap sekolah ini patut diacungi jempol, ditengah keterbatasan materi dia rela berkorban berjualan hingga tengah malam, bahkan dia bercerita pernah berjualan hingga jam 5 pagi! -- dan yang pasti tetap seorang diri saja! demi keluarganya, utamanya untuk biaya pendidikan anaknya. Melihat tekad si ibu yang rela berkorban berjualan demi pendidikan anaknya, gue jadi teringat dengan ucapan seseorang yang mengatakan bahwa di Jawa kebanyakan sebagian orang tua memang sudah sadar akan pentingnya pendidikan, jadi tak masalah orang tua harus hidup melarat, tidak memiliki apa-apa asal anaknya bisa sekolah.

Setelah mendengar cerita ibu penjual nasgor yang kebetulan berasal dari Jawa ini, gue semakin yakin kebenaran omongan temen gue sebelumnya itu, bahwa sebagian besar orang tua yang berasal dari Jawa rela hidup menderita asal anaknya bisa bersekolah, ibu penjual nasi goreng itu adalah contoh yang sangat nyata!. Kalo diinget-inget guru-guru waktu gue SD, SMP, atau SMA yang berasal dari Jawa jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. Kalo gue gak salah baca, sekitar tahun 50-80an (bener?) katanya dulu hampir semua guru-guru di daerah ataupun pelosok-pelosok Indonesia itu berasal dari Jawa, bahkan konon katanya Malaysia ketika awal kemerdekaannya (tahun 60-an) pernah mendatangkan guru-guru dari Indonesia, dan guru-guru itu kebanyakan berasal dari Jawa.

Jika melihat contoh diatas, setidaknya bisa dijadikan indikator bahwa sumber daya manusia asal tanah Jawa saat itu cukup banyak yang berpendidikan. Dan kemungkinan semua itu berasal dari tekad orang-orang tua yang menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Selain di Jawa, di daerah lain utamana Sumatra Barat juga dikenal sebagai daerah penghasil orang berpendidikan. Bahkan kalo gak salah baca, di buku biografi H. Agus Salim, pernah disebutkan bahwa prinsip ibu-ibu di daerah asalnya adalah (kira-kira): "Biarlah harta habis untuk pendidikan anak, asal kelak anak menjadi datuk yang berpendidikan dan terhormat". Sepertinya harapan ibu-ibu itu memang terwujud dengan hadirnya tokoh-tokoh besar Indonesia sekaliber H. Agus Salim, Moh Hatta, dll.

Andai saja uang negara ini tidak di rampok oleh "tikus-tikus" negara, tentu orang-orang seperti ibu penjual nasi goreng ini tidak perlu berjualan nasi goreng hingga pagi hari, karena biaya pendidikan anaknya ditanggung oleh negara. Agar iri juga kalo lihat negara lain misal Malaysia yang sudah bisa memberikan pendidikan yang layak bagi warga negaranya. Kata kenalan gue yang pernah kerja di Malaysia, prosentase anggaran negara untuk pendidikan disana konon termasuk yang cukup besar di dunia jika tidak dapat dikatakan yang terbesar di dunia. Bahkan secara prosentase Amerika Serikat-pun katanya kalah dengan prosentase anggaran pendidikan pemerintah Malaysia. Tak heran kalo sekarang Malaysia termasuk satu dari sedikit negara Asia yang lumayan maju.

Dulu Malaysia belajar sistem pendidikan dari Indonesia, sekarang mungkin sebaliknya Indonesia yang harus belajar dari Malaysia. Andai saja anggaran 20% untuk pendidikan yang telah ditetapkan dipenuhi oleh pemerintah, tentu orang-orang seperti penjual nasi goreng itu bisa lebih tenang menikmati masa pensiunnya tanpa harus disibukan dengan berjualan nasi goreng hingga pagi hari. Selain itu ada juga hikmah yang bisa di ambil dari si ibu penjual nasgor ini, yaitu: sebaiknya nikah harus muda kalo memang ingin punya anak, karena kalo punya anak saat tua, mungkin akan lebih sulit memberikan pendidikan bagi anak, terutama saat badan sudah renta di makan usia... Mungkin kalo gak niat pengen punya anak, kayaknya sih gak masalah nikah di usia tua... :p

Life, for what it's worth?

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

waah salut sama ibu penjual nasi gorengnya^^ Jadi inget ibu dirumah....*hiks*

Friday, January 07, 2005 5:23:00 PM  

Blogger imponk said...

gak ditanyai Solonya dimana? siapa tahu dia itu tetanggaku :D

Saturday, January 08, 2005 1:43:00 AM  

Blogger alvifauzan said...

Wah mana sempet nanya solonya dimana... orang gue gak tau sama sekali daerah solo kayak gimana :)

Tuesday, January 11, 2005 3:08:00 PM