Impor KRL Bekas dari Jepang

 Monday, December 06, 2004

Baca berita foto di Kompas Cyber Media, 6 Desember 2004. Hari Senin 6 Desember 2004 adalah pengiriman kereta api bekas dari Jepang tahap kedua, setelah sebelumnya kereta dengan jenis yang sama telah beroperasi sebagai kereta Bojong Gede Ekspress yang melayani rute Bojong Gede - Jakarta Kota.

Rencana kebijakan impor kereta api listrik (KRL) bekas dari Jepang oleh PT Kerta Api Indonesia (PT KAI), sempat diberitakan oleh media koran beberapa bulan yang lalu. Sebagai satu-satunya operator kereta api di Indonesia, kebijakan PT KAI mengimpor kereta bekas dari jepang ini sempat disayangkan oleh beberapa kalangan.

Sebagai perusahaan yang berstatus sebagai persero, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tentulah tujuan utamanya, salah satunya adalah menekan biaya pengeluaran. Dalam hal ini PT KAI, sengaja mengambil keputusan lebih memilih impor KRL bekas dari Jepang untuk dengan tujuan utamanya adalah menekan beban biaya pengeluaran untuk pengadaan kereta api yang dirasakan semakin mendesak, seiring dengan bertambah banyaknya jumlah pengguna jasa kereta api.



Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan mengimpor KRL bekas dari luar negeri (Jepang). Keputusan ini murni didasari semata-mata untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi pihak PT KAI. Namun disisi yang lain sebagai satu-satunya opertor kereta api di indonesia, beberapa kalangan mengharapkan PT KAI perlu memikirkan kepentingan yang lebih luas ketimbang mencari keuntungan sendiri.

Beberapa kalangan yang menyesalkan kebijakan mengimpor ini beralasan bahwa Indonesia telah memiliki industri kereta api (PT INKA), sehingga sudah selayaknya kelangsungan hidup industri ini perlu didukung. Pabrik PT INKA selama ini yang memproduksi berbagai hal yang berkaitan dengan kereta api seperti Gerbong Penumpang, Gerbong Barang, Lokomotif yang bekerjasama dengan GE Lokomotif, dan juga memproduksi KRL yang lisensinya didapat dari Holec, Belgia. Selama ini, hampir semua produksi yang dihasilkan PT INKA dibeli oleh PT KAI.

Keputusan PT KAI yang lebih memilih mengimpor kereta bekas dari Jepang ketimbang membeli dari dalam negeri (PT INKA) mudah-mudahan telah dipertimbangkan secara masak-masak, karena jika tidak beberapa dampak negatif bisa saja timbul dari kebijakan PT KAI ini.

Membeli dari luar negeri tentunya akan menghabiskan cadangan devisa negara, disamping itu pembelian ini umumnya dilakukan dengan melalui utang (terus terang gue gak tau ini beli cash atau utang), jika pembelian dilakukan dengan utang, maka beban negara ini akan semakin berat karena bukan tidak mungkin beban utang luar negeri bangsa ini dapat semakin menghambat pertumbuhan ekonomi negara. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk hal-hal produktif akan terserap untuk pembayaran hutang-hutang plus bunga-bunga utang yang jumlahnya pasti tidak sedikit.

Hal lain yang disayangkan adalah karena status KRL yang dibeli adalah barang bekas. Dinegara asalnya sendiri, KRL ini sudah tidak dioperasikan. Dikhawatirkan, kereta ini tidak layak beroperasi karena kendala usia kereta ini. Kondisi KRL bekas belum tentu 100% langsung siap beroperasi, dibutuhkan beberapa perbaikan atau modifikasi yang pastinya juga akan menambah biaya pengeluaran bagi PT KAI sendiri.

PT KAI merasa dengan jumlah uang yang mereka belanjakan akan mendapatkan 2 kali lebih banyak rangkaian KRL ketimbang membelinya dari industri kereta dalam negeri (PT INKA). Keputusan yang sulit memang, lebih-lebih semenjak statusnya berubah menjadi persero, PT KAI (dulu PJKA) dituntut agar dapat menghasilkan keuntungan. Subsidi-subsidi pemerintah selama ini terhadap BUMN terbukti cukup membebani keuangan negara, karena kebanyakan dari BUMN ini (termasuk PT KAI) merugi. Untuk mengurangi beban negara, maka banyak dari subsidi-subsidi ini yang mulai dicabut, maka kebijakan PT KAI dalam mengimpor KRL bekas tidak dapat disalahkan begitu saja.

Hendaknya pemerintah juga perlu memikirkan nasib sarana-sarana transportasi termasuk industri pendukung yang terlibat didalamnya, dalam hal ini tentu saja PT KAI dan PT INKA. PT INKA jika tidak dapat menjual produk-produknya karena tidak ada yang membelinya --termasuk PT KAI--, maka bisa dipastikan jika kondisi ini tetap berlanjut dapat mengakibatkan bangkrutnya PT INKA yang pada akhirnya akan menambah jumlah pengangguran di negara ini. Keputusan mengurangi subsidi pada BUMN termasuk PT KAI memang harus dilakukan untuk mengurangi beban negara, tapi pemerintah tidak boleh benar-benar mencabut subsidi bagi PT KAI. Sebaliknya dalam tataran tertentu pemerintah harus menaruh perhatian lebih serius dalam pengembangan sarana transportasi masal ini.

Dulu pas kuliah Analisa Proyek, pernah denger bahwa dalam melakukan analisa proyek tidak selamanya tujuan utamanya adalah mencari untung secara langsung, tapi meskipun tidak mendapatkan untung secara langsung jika membawa dampak positif bagi aspek sosial ekonomi masyarakat, tentunya hal itu perlu dipertimbangkan juga. Saat itu sang dosen memberikan contoh, proyek membangun jembatan secara ekonomi tidak menguntungkan, karena tidak ada keuntungan secara langsung yang akan didapatkan, malah bisa jadi beban tambahan karena ada akan ada biaya perawatan agar jembatan tetap berfungsi. Namun meskipun tidak secara langsung mendapatkan untung, namun dengan keberadaan jembatan akan mendorong pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat. Masyarakat dapat menjual dan mendapatkan barang-barang dengan lebih mudah, lebih cepat, hubungan antar satu daerah dengan daerah menjadi lebih baik dengan adanya jembatan dan lain-lain.

Jika dikaitkan dengan contoh diatas, maka tidak ada salahnya pemerintah sebaiknya mempertimbangkan terlibat lebih lanjut dalam pengadaan sarana transportasi massal. Meskipun akan membebani ekonomi negara, mungkin tidak ada salahnya pemerintah memberikan bantuan subsidi bagi PT KAI agar mau membeli produk PT INKA. Sehingga PT KAI mampu melayani masyarakat dengan pengadaan kereta-kereta yang baru sesuai dengan kebutuhannya, tapi disisi lain PT INKA juga dapat terus tetap bertahan dalam bisnisnya karena adanya pesanan dari PT KAI.

Kasus impor KRL bekas PT KAI ini sebenernya agak mirip-mirip dengan kasus outsourcing di AS. Kebanyakan industri IT di Amerika melakukan outsourcing kenegara-negara yang biayanya lebih murah seperti India atau Cina, tapi ternyata disisi lain dengan adanya outsourcing menimbulkan dampak yang tidak kalah buruknya, yaitu pengangguran yang semakin meningkat di Amerika karena pekerjaan mereka selama ini telah di ambil alih oleh pekerja dari negara lain. Kalo melihat ini, susah juga ya ngatur agar untung secara mikro tapi sekaligus tidak rugi secara makro.

~bukanekonom--hanyapenikmatsaranakeretaapijabotabek

Hak cipta foto, Kompas Cyber Media. Digunakan tanpa permisi -- mohon maaf sebelumnya buat KCM.

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

eh vi, ini KRLnya tadi pagi gua naikin nih, jurusan tanah abang.. mantab loh cuman dalamannya banyak huruf jepang, dan gak pake nomer bangku kyk express yg dulu... cek di blog gua deh ceritanya :p
~arih
http://arih.blogdrive.com/

Thursday, December 09, 2004 9:47:00 AM  

Blogger alvifauzan said...

Wah loe udah nyobain ya... gue belum nih :). Btw kalo kata loe mantab ya gue coba percaya deh...

Terus terang gue awalnya rada kurang percaya nih kereta bakal bagus, soalnya gw pernah liat kereta ini ada gerbong yang dempulnya udah ngelupas-ngelupas kayak biasa kita temuin di gerbong-gerbong kelas ekonomi... kayaknya gak meyakinkan banget sih kalo gerbongnya bakalan jadi kereta express.... tapi kalo kata loe mantab ya mudah2an sih emang beneran mantab rih :)

Thursday, December 09, 2004 12:25:00 PM  

Anonymous Anonymous said...

Tapi INKA bikin KRL malah kurang andal, liat aja tuh KRL I-9000,banyak yang dipulangkan ke ortunya

Tuesday, January 03, 2017 2:43:00 PM