Efek Berhaji
Wednesday, January 19, 2005
Nah gue gak tau kalo mampu secara batin itu masuk syarat gak sih? Konyol memang pertanyaannya... tapi kalo misalnya gue secara materi sudah mampu dan secara fisik cukup sehat untuk berhaji tapi batin merasa belum siap itu gimana ya? apakah dibenarkan tidak melaksanakan ibadah haji jika alasannya batin/hati belum siap untuk menjalankan ini... tapi kayaknya mungkin gak boleh kali ya kalo beralasan seperti itu agar tidak naik haji...?
Meskipun ibadah haji itu wajib bagi setiap muslim, kenyataannya banyak juga lho yang belum tergerak hatinya untuk berhaji (aduh gue juga sebenernya belum merasa tergerak juga sih... disamping memang belum mampu secara materi untuk berhaji). Gue baru tau setelah baca sekilas biografi Sri Sultan Hamengkubuwono X (HBX), di situ dia di katakan penerus dinasti mataram pertama yang cukup unik, karena...
1. HBX sebagai penerus dinasti Mataram pertama yang dinobatkan setelah Indonesia merdeka (Hamengkubuwono IX dinobatkan sekitar tahun 1940-an, Pakubuwono XII tahun 1945 sebelum bulan agustus)
2. HBX merupakan sultan yang pertama memulai hanya memiliki satu permaisuri dan tidak memiliki selir (cuma 1 istri saja), sedangkan leluhurnya bisa memiliki satu atau tidak punya sama sekali permaisuri tapi memiliki banyak selir (banyak istri).
3. HBX adalah adalah (konon satu-satunya) penerus dinasti Mataram (atau setidaknya dinasti Ngayogyakarta) yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dan lain-lain... (gak inget lagi... hehehe)
Wah agak aneh juga kalo baca ini, ternyata baru semenjak Hamengkubuwono X para penerus dinasti Mataram yang melaksanakan ibadah haji, padahal Mataram mengaku bahwa dia adalah kerajaan Islam. Salah satu fakta yang menunjukan bahwa Mataram adalah kerajaan yang beragama islam dapat dilihat dari gelar raja-rajanya. Untuk Kasultanan Yogyakarta raja mereka menggunakan gelar seperti: Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX (itu gelar untuk HBIX). Didalam gelarnya terdapat kata-kata Abdurahman yang berarti hamba dari Sang Pemberi Rahmat (Allah SWT), Panoto Gomo itu kira-kira sama dengan Penata Agama (Islam), ditambah lagi kata Kalifatullah aritnya ya semacam Kalifah atau pemimpin atau perwakilan Allah? di muka bumi (baca: tanah Ngayogyakarta). Jadi jelas dari gelarnya terlihat bahwa raja Yogya adalah seorang pemimpin Islam, dan untuk raja Solo, mereka biasa menyebut kerajaannya dengan Kasunanan Surakarta, gue menduga kata kasunanan ini ada hubungannya dengan Wali Songo yang sering menggunakan gelar Sunan.
Jelas bahwa memang kerajaan Mataram (Baru) adalah kerajaan islam, tapi sangat disayangkan mengapa para raja-rajanya banyak yang belum pernah melaksanakan rukun islam yang ke-5, apakah mereka mendirikan kerajaan dengan membawa-bawa nama islam hanya sekedar untuk keuntungan pribadi mereka sendiri? Wallahualam, tapi bagaimanapun memang pengaruh islam sedikit-dikit memang ada, salah satunya adalah kalender jawa di sesuaikan menjadi sama dengan kalender islam yang menggunakan perhitungan pergerakan bulan, kalender sebelumnya berdasarkan pergerakan matahari.
Kalo boleh berspekulasi, kemungkinan memang para raja tidak melaksanakan ibadah haji adalah karena situasi yang "tidak memungkinkan". Para raja jaman dulu jangan dibayangkan dengan jadi presiden jaman akhir-akhir ini. Jaman dulu setiap raja punya banyak musuh, musuhnya tidak hanya dari orang-orang luar dari keraton, seringkali para Adipati, Tumenggung, bahkan saudara-saudaranya sendiri menjadi musuh. Harap maklum yang boleh menjadi raja hanya satu orang, sedang yang menginginkan posisi itu banyak sekali, para raja jaman dulu memang umumnya memiliki anak yang sangat banyak sehingga tak heran kalo sesama saudara (biasanya beda ibu) yang saling bermusuhan.
Bahkan dijaman dulu, setiap putra mahkota (pangeran adipati anom) akan dinobatkan menjadi raja, biasanya para tetua mengumumkannya dengan nada tantangan, kata-kata yang biasanya di ucapkan kalo dalam bahasa indonesia kira-kira "Saksikanlah wahai semua warga, bahwa kini putra mahkota akan dijadikan raja menggantikan ayahnya, jika tidak ada yang setuju/tidak terima ayo lawan aku", pada awal-awalnya memang setiap raja baru pasti akan diajak uji kekuatan untuk membuktikan bahwa dia memang layak menjadi raja. Tak heran pula kalo tidak sedikit dari anak-anak raja yang menginginkan menjadi raja meminta bantuan pihak asing (VOC atau Kompeni) untuk adu fisik memperebutkan posisi raja. Saat ini sepertinya sudah tidak ada budaya seperti itu, tapi ironisnya di Kasunanan Surakarta saat ini masih terjadi perebutan posisi raja, memang tidak dengan cara fisik seperti dulu.
Nah kalo melihat banyaknya musuh raja, maka wajar jika raja umumnya lebih memperhatikan kekuasaannya, dan pada akhirnya mereka tidak akan sempat berfikir untuk melaksanakan ibadah haji. Mungkin para raja itu berfikir, jangan-jangan saat dia berangkat haji, akan terjadi kudeta terhadap dirinya. Padahal kalo dilihat secara materi, seorang raja tentu saja dapat membiayai dirinya ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Kudeta... tentu saja tidak seorangpun yang ingin dikudeta, tak heran jika raja lebih memilih tetap berada di wilayahnya ketimbang pergi ke daerah lain. Btw ini adalah dugaan pribadi dari gue lho... bukan kata siapa-siapa :)
Gue juga mengamati, kalo kondisi seperti itu juga ternyata dialami di zaman setelah kemerdekaan. Ada yang ingat kapan mantan presiden Soeharto berangkat haji, jika gue gak salah inget ibadah itu baru dilaksanakan sekitar tahun 90-an. Gue mau menduga dengan prasangka yang buruk nih, bayangkan dari tahun 1966 sampai 1990 dia berkuasa apa dia tidak ada biaya untuk berhaji? Soal biaya pastinya bukan masalah bagi mantan presiden itu untuk melaksanakan ibadah haji. Gue menduga... mungkin selama rentang waktu dia tidak melaksanakan ibadah haji dikarenakan dia harus menjaga posisinya, karena kalo baca buku-buku yang beredar setelah dia mengundurkan diri, tampak bahwa Soeharto itu memang memiliki banyak musuh, baik dari para politisi ataupun dari kalangan tentara. Mungkin baru tahun 90-an itu dia baru merasa posisinya bisa aman untuk pergi beribadah haji, atau jika kita berprasangka baik bisa saja memang baru tahun 90-an Soeharto terbuka hatinya untuk melaksanakan ibadah haji.
Konon saat mantan presiden itu sakit dia lebih memilih dirawat di Rumah Sakit Pertamina ketimbang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto... kalo kata orang mungkin dia lebih percaya dengan pelayanan di RS Pertamina yang notabene didirikan oleh sahabat karibnya Ibnu Sutowo, dirut pertama Pertamina, ketimbang rumah sakit RSPAD yang notabene dikuasai oleh perwira yang mungkin saja musuhnya-musuhnya atau perwira yang pernah disakiti hatinya... sekali lagi itu hanya dugaan orang-orang lho, bukan gue :)
Meski mantan presiden kita sudah berhaji dan akhirnya menambahkan nama Mohammad, kok sepertinya Indonesia tidak lebih baik. Tidak sedikit para pejabat-pejabat pemerintah Indonesia yang sudah melaksanakan haji, tapi kenapa aib para pejabat itu kok tidak hilang malah cendrung semakin bertambah banyak dan makin menggila. Ahhhh gue takutnya para pejabat itu ibadah haji yang telah dilaksanakannya tidak menjadikan mereka haji yang mabrur, jangan jangan -seperti kata orang-orang- mereka malah menjadi haji kabur.
Kalo ngelihat negri yang kaya ini tetep miskin, gue kok ngeliat kayaknya ada yang salah dengan para pengelolanya. Padahal kebanyakan mereka (pejabat negara) udah pada melaksanakan ibadah haji gitu lho... masak sih masih doyan dengan hal-hal negatif yang dilarang agama, atau emang ibadah haji itu gak ngaruh untuk merubah mental orang? Semoga kata yang terakhir tidak terbukti...
Setiap tahun selalu ada orang yang pergi berangkat haji, bahkan sampai dibatasi oleh kuota akibat terlalu banyak, logikanya akan semakin banyak orang-orang di Indonesia yang bergelar haji... Jika sebagian besar orang yang pulang menjadi haji mabrur, seharusnya mereka mereka akan menjadi teladan bagi orang-orang disekitarnya dan pada akhirnya akan meningkatkan moralitas diantara anggota keluarganya, dan jika itu meluas, maka bangsa ini semakin meluas orang-orang yang memiliki moralitas yang baik.
Gue khawatir orang-orang yang naik haji itu niatnya tidak lurus, tidak mengharap ridho Allah. Bukan tidak ada lho..., orang yang setelah pulang dari haji akan marah jika tidak ada orang lain yang memanggil dirinya dengan sebutan pak haji atau bu hajjah. Sepertinya memang ada orang yang lebih peduli dengan sebutan pak haji atau bu hajjah ketimbang konsekuensi setelah pulang dari haji, peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah, ataupun sekedar memberi teladan (duh gue makin gak siap nih untuk naik haji...).
Entah kebetulan atau memang terjadi di dunia nyata, Pak Haji menjadi bahan olok-olok dalam suatu lelucon. Ada yang pernah mendengar lelucon ini?
"Pak haji-pak haji anak pak haji lagi main judi!" kata seseorang
"Astagfirullah!" jawab pak haji...
"Tapi anak pak haji menang judi" kata seseorang
"Alhamdulillah..." jawab pak haji...
Lelucon yang merendahkan seseorang yang pernah beribadah haji. Gue gak yakin orang-orang berani buat lelucon seperti itu jika tidak ada pak haji yang berlaku seperti itu (IMHO), mungkin memang ada dalam dunia nyata dimana para haji yang berperilaku seperti itu.... Gue sampe sekarang gak pernah denger lelucon yang membahas kejelekan Nabi Muhammad oleh para umat-nya sendiri (orang islam), gue yakin karena orang-orang islam memang memandang Nabi Muhammad adalah orang yang benar. Beda dengan haji yang dilaksanakan oleh manusia yang memiliki banyak kelemahannya sehingga kelemahan itu seringkali di ekspolitasi menjadi sebuah ejekan atau sindiran dalam sebuah lelucon, lelucon atau sindiran yang merendahkan orang-orang yang pernah berhaji...
Sungguh berat memang ibadah ini, sebelum berangkat saja sudah harus berkorban harta yang tidak sedikit (katanya ONH itu bisa lebih dari 25 juta?), setelah berangkat, fisik harus menghadapi hawa panas, berdesak-desakan dengan jemaah yang lain, resiko terinjak-injak, terkena lemparan batu jumroh, dll. Dan setelah pulang orang akan mengamati perubahan sikap, apakah bertambah lebih baik atau tidak setelah menjalankan ibadah haji... Waduh berat... kalo kata orang-orang mempertahankan adalah lebih sulit ketimbang meraihnya. Mungkin juga bisa dikatakan... lebih sulit menjaga sikap kita setelah berhaji ketimbang perg berhaji itu sendiri.
Orang yang telah melaksanakan ibadah haji, seringkali tingkah laku mereka dan orang-orang terdekatnya diamati oleh masyarakat umum. Masyarakan menganggap orang yang sudap melaksanakan haji dianggap orang yang lebih baik lebih dan mampu memberi teladan bagi yang ada disekitarnya. Maka ketika seorang yang telah berhaji ataupun orang terdekatnya memiliki perilaku yang tidak terpuji, masyarakat cendrung "mempertanyakan" kehajian mereka. Misal, ada seorang anak yang bapak dan ibunyanya sudah berhaji, tapi anak ini mengkonsumsi narokba, mabuk-mabukan dan segala kejelekan lainnya, maka secara tidak sadar orang-orang akan mencibir "Anak haji kok kayak gini sih?", sepertinya memang harapan masyarakat terhadap orang yang telah berhaji cukup besar. Bagaimanapun seperti kata group Seurieus: Rocker juga manusia, begitupula dengan pak Haji dan Bu Haji juga manusia... punya kelebihan juga kekurangan...
Semoga para jemaah haji Indonesia yang sedang menjalankan ibadahnya disana bisa kembali dengan selamat dan menjadi haji yang mabrur, bisa menjadi tauladan buat orang-orang yang belum pernah melaksanakan haji. Semoga efek baik dari berhaji memang benar-benar terbukti. Semoga orang-orang yang belum pernah menjalankan ibadah haji (seperti gue... :p) diberikan hidayah dan rezeki supaya dapat melengkapi rukun islam yang ke-5 dan yang terutama kita semua bisa menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Amien...
Harapan dari gue, orang yang banyak melakukan dosa
Vi,
1. hasil dari semua pekerjaan itu tergantung dari niat kita ngelaksanainnya. Sama aja ama naik haji, kalo niat kita naik haji buat jadi haji mabrur, ya insya Allah kita bakalan bener2 jadi haji mabrur. Kalo niatnya pamer, ya jadinya bakalan kayak gitu.. cuman dapet titel doang. Jadi anggapan naik haji gak ngaruh itu gak bener lah. Semua tergantung niat awal kita.
2. Sering maen game kan? kalo di game, keliatan kan tiap kita advance ke level yg lebih atas, musuh2nya jadi tambah kuat? nah, berhaji juga gitu. Kita naek haji dianggap udah naek level, jadi cobaan yg kita hadapin juga makin tinggi. Salah satu cobaan yg paling tinggi (dan paling banyak orang gagal ngadepinnya) itu datang dari keluarga sendiri... see.. life is simple, sunnatullah is simple and make sense.
--kiky--
Gue setuju dengan loe ky soal niat itu... mungkin ini soal 'kekecewaan' (kenapa harus 'kecewa' ya?) gue aja sih liat orang-orang yang udah haji tapi banyak dari mereka yang gak keliatan hajinya (kecuali titel haji-nya). Terutama para pejabat-pejabat yang gelarnya udah berderet-deret itu (termasuk gelar Haji) tapi tetep aja negeri ini gak maju-maju, kalah sama negeri jepang yang katanya agama penduduknya masuk kategori agama pagan (emang ada hubungannya kemajuan dengan agama?)
Untuk poin 2, gue setuju juga dengan kiky, keluarga itu memang bisa jadi cobaan yang paling berat disamping diri kita sendiri.