Cita Rasa & Peraturan

 Monday, January 10, 2005

Hari sabtu kemarin sempet ngobrol-ngobrol sama beberapa temen lama. Kebetulan ada temen gue yang baru keluar dari tempat kerjaannya, padahal baru masuk 3 hari. Temen gue bilang alasannya kenapa dia keluar, yang paling utama adalah masalah gajinya yang gak sesuai dengan biaya operasionalnya, pokoknya susah buat dia untuk bisa saving kalo terus kerja disitu, yang kedua lingkungan kerjanya yang katanya sih gak cocok. Selain itu katanya dia juga menambahkan soal keragukan kehalalan produk yang dihasilkan oleh tempat dia bekerja. Kebetulan tempat kerjanya itu bergerak di bidang makanan utamanya sejenis roti/cake. Didalam dunia pembuatan roti/cake/kue (dan kawan-kawannya) kadang kala menggunakan bahan Rum, nah disinyalir bahan ini tidak halal jadi ya daripada gaji kecil, lingkungan gak asik ditambah lagi disinyalir produknya tidak halal jadi dia keluar.

Terus gue nanya ke temen gue apa emang bener Rum itu gak halal karena sejujurnya gue emang gak tau. Kebetulan ada temen gue lainnya yang berpengalaman buat roti/kue untuk di jual, kalo kata dia sih emang Rum agak meragukan kehalalannya, makanya dia gak pernah pake kalo buat roti/kue-kue. Kalo gak salah Rum itu biasanya dipake sebagai bahan tambahan dalam suatu roti supaya lebih enak (spesifik efeknya 'kebaikannya' gue juga gak tau). Kalo bener akhirnya Rum itu haram (katanya sih emang haram?) berarti memang harus di cari alternatif yang fungsinya sama dengan Rum tapi halal.

Soal halal ini terus terang gue sih bener-bener awam, cuma kalo boleh gue bertanya sebenernya definisi haram untuk makanan/minuman itu spesifiknya apa sih? Rum katanya haram soalnya mengandung alkohol. Nah alkohol itu sendiri haram karena katanya alkohol dapat memabukan. Bagi orang Islam, sesuatu yang bisa memabukan (khmar) itu haram hukumnya untuk di konsumsi. Peraturan menghindari makanan/minuman yang haram ini wajib ditaati bagi semua umat Islam.

Permasalahan yang hingga kini masih blur bagi gue sejauh ini adalah seberapa batasan spesifik suatu makanan/minuman dapat dikatakan haram. Untuk kasus makanan haram yang sumbernya asli/alami seperti Babi atau hewan karnivora (pemakan daging) sudah cukup jelas. Nah untuk makanan/minuman olahan ini gue masih agak belum jelas soal definisi halal/haram-nya. Utamanya yang mengandung alkohol. Gue setuju kalo makanan/minuman yang mengadung bahan yang haram maka secara otomatis makanan tersebut bisa disebut haram.

Untuk soal penggunaan bahan yang mengandung alkohol ini yang agak "rumit" kalo menurut gue, karena biasanya bahan yang mengadung alkohol bahan dasar pembuatnya biasanya tidak mengandung alkohol, seperti beras, ketan, singkong dll. Jika merujuk definisi minuman haram adalah minuman yang memabukan, apakah bisa dikatakan bahwa jika kita mengkonsumsi alkohol secara sedikit dan tidak sampai mabuk maka tidak haram? Sebenernya masalahnya sederhana sih, jika memabukan. Cuma kalo patokannya halal/haram karena semata-mata mengandung alkohol maka sudah semestinya secara tegas semua yang mengandung alkohol adalah haram.

Masalahnya ada makanan alami yang mengandung alkohol, contohnya buah Duren. Hingga saat ini gue belum pernah mendengar bahwa Duren itu haram, padahal konon katanya duren mengandung alkohol. Tak heran jika mengkonsumsi terlalu banyak maka efeknya akan membuat mabuk. Jika membuat mabuk maka gue setuju aja kalo ada yang memfatwakan makan banyak Duren di haram :p. Hingga kini Duren kayaknya masih halal, meskipun buah itu mengadung alkohol? Padahal katanya, sedikit atau banyak sesuatu yang haram itu akan tetap haram. Nah jika secara strict memfatwakan alkohol itu haram, maka sedikit atau banyak mengkonsumsi Duren seharusnya haram juga? Kenyataannya hingga kini gue belum mendengar fatwa bahwa duren itu haram dan buktinya buah Duren tetap bebas dijual di pasar/jalan raya secara bebas.

Berarti ada pengecualian doong? Katanya memang ada pengecualian. Katanya jika alkohol dalam bentuk yang alami masih diperbolehkan, contohnya ya Duren itu. Nah kalo untuk yang sudah di olah bagaimana? Tape Ketan itu halal apa haram? ada yang bilang halal, karena dia masih dalam bentuk aslinya yaitu bulir-bulir ketan (bener gak sih istilah "bulir"?). Kalo bulirnya di pisahkan maka, air sisa fermentasi ketan yang mengandung alkohol dalam tape ketan itu adalah haram karena sudah tidak dalam bentuk yang aslinya. Ternyata rumit juga mendefinisikan halal haram padahal definisi haram untuk minuman awalnya "hanya": Segala sesuatu yang memabukan.

Ternyata cukup rumit mendefinisikan jenis makanan/minuman yang mendapat pengecualian-pengecualian dari status haram. Hal itu mungkin tidak menjadi masalah selama kita memiliki alternatif lainnya. Kalo sekedar dimakan mungkin kita bisa mencari alternatif lainnya, tapi bagaimana jika sudah mencakup soal cita rasa, tidak mudah menggantikan bahan baku untuk tetap menghasilkan efek dan cita rasa yang sama dengan bahan-bahan yang "meragukan" itu. Jika kembali ke contoh roti sebelumnya, jika kita ingin agar cita rasa roti/kue yang dihasilkan tetap sama baik secara rasa, tekstur, dll maka akan menjadi "pekerjaan berat" bagi pembuat roti untuk mencari bahan pengganti Rum, karena soal cita rasa itu bisa sangat sensitif sekali bagi orang yang memiliki lidah yang "terlatih" untuk membedakan rasa. Berhubung gue gak pernah mengikuti perkembangan dunia kuliner, gue berharap saat ini sudah ditemukan alternatif pengganti Rum yang meragukan itu, dengan efek yang sama, setidak-tidaknya mendekatai dengan Rum yang asli :).

Menjual barang yang mengandung cita rasa, utamanya makana/minuman ini memang lumayan rumit dan pelik kalo menurut gue. Cita rasa akan jauh melenceng jika kita tidak tepat dalam menjaga takaran/perbandingan setiap bahan baku (gue pernah ngalamin soalnya :p). Bisa membuat makanan yang enak dalam jumlah yang sedikit bukan berarti akan mampu juga menghasilkan makanan yang tetap enak dalam jumlah yang banyak!. Tapi untuk masalah itu sepertinya bisa diatasi dengan semakin tingginya "jam terbang" seseorang dalam memasak, jadi mungkin tidak terlalu masalah bagi yang sudah berpengalaman.

Tapi tetap masalah bahan baku seringkali menjadi kendala bagi produsen barang (makanan/minuman) yang mengutamakan cita rasa, bahkan bagi yang paling ahli sekalipun. Tapi jika berhasil mensiasati ini maka acungan jempol buat pembuatnya. Kita semua tentu tahu Coca-Cola dan kita mungkin juga pernah mendengar Kokain. Saat ini kita mengenal kokain sebagai barang terlarang, tapi tahukah anda bahwa pada awalnya Coca-Cola sempat menggunakan Kokain sebagai bahan pembuatnya? Tidak percaya? cek ke situs Snopes: Urban Legend Reference. Coca Cola saat ini berhasil dibuat tanpa menggunakan Kokain.

Coca Cola juga sempat ingin mengganti beberapa bahan pemanisnya agar tidak menimbulkan efek negatif, seperti kita ketahui kelebihan gula bisa menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi kesehatan orang-orang kebanyakan, karena kelebihan gula bisa menyebabkan orang menjadi gemuk. Mungkin Coca Cola khawatir jika orang tahu bahwa kadar gulanya tinggi maka orang yang tidak ingin badannya menjadi gemuk tidak akan membeli Coca Cola, jika kondisi ini berlanjut sudah pasti Coca Cola suatu saat akan ditinggal oleh konsumennya. Karenanya Coca Cola menciptakan Diet Coke, tapi tetap orang lebih banyak membeli produk Coca Cola yang asli.

Selama masyarakat masih menyukai mungkin tidak masalah meski itu dapat menimbulkan efek negatif. Tapi jika ternyata Negara akhirnya ikut campur terhadap kesehatan warganya, sehingga membuat kebijakan agar setiap makanan harus memiliki nilai ambang batas kandungan tertentu (misalnya kalori) maka sudah dipastikan produsen harus siap-siap mengubah resep asli yang jelas-jelas disukai konsumen. Pekerjaan mengganti bahan baku tapi tetap menghasilkan cita rasa yang sama bukanlah pekerjaan yang mudah dan singkat!

Contoh yang lain mungkin soal Rokok. Mungkin boleh dibilang Indonesia adalah surganya bagi perokok, kenapa? karena harganya murah, aturan/hukuman bagi orang yang merokok di tempat umum tidak tegas, belum ketatnya batas kadar kandungan zat yang digunakan (misal nikotin), dan satu lagi Cita Rasa rokok Indonesia menurut para perokok termasuk yang terbaik.

Pernah gue dengar suatu cerita, ada orang Indonesia yang keluar negeri membawa rokok Indonesia. Saat di perjalanan, orang Indonesia ini mengeluarkan rokoknya untuk dihisap (ya iya lah!), mungkin karena orang Indonesia itu ramah, dia tawarkan rokok yang dibawanya ke teman perjalanannya yang nota bene bukan orang Indonesia. Begitu di hisap, kata orang asing cita rasa rokok ini begitu nikmat, mengalahkan cita rasa rokok di tempat dia. Akhirnya ke esokan harinya orang yang ditawari rokok itu membawakan 1 slop yang berisi beberapa bungkus kotak rokok mereka kepada orang Indonesia untuk ditukarkan dengan 1 bungkus rokok asal Indonesia. Orang asing itu sepertinya tergila-gila dengan cita rasa rokok Indonesia. Bagi penikmat sejati rokok sepertinya mereka memang tahu bagaimana membedakan suatu rokok itu nikmat/tidak.

Di TV kita mungkin pernah melihat iklan rokok, dimana di dalam iklan itu digambarkan ada orang yang di uji untuk menentukan kualitas tembakau hanya dengan mencium bau tembakau dengan mata tertutup. Dalam dunia nyata orang yang memiliki indra penciuman yang terlatih untuk menentukan bagus/tidaknya kualitas suatu tembakau itu memang di bayar cukup mahal. Maklum bagi penikmat sesuatu (misal rokok atau makanan) cita rasa adalah segala-galanya, wajar jika Quality Control ini di bayar mahal, semua itu demi kualitas!

Nah, gue pernah baca kalo kadar nikotin di dalam rokok produksi pabrik rokok di Indonesia ini cukup tinggi. Nah kalo seandainya pemerintah mengeluarkan peraturan tentang batas maksimum kandungan nikotin harus sekian persen, maka besar kemungkinan cita rasa rokok-rokok asal Indonesia akan berubah (menjadi menurun?). Boleh jadi kandungan Nikotin yang tinggi itulah yang menjadikan cita rokok asal Indonesia lebih nikmat ketimbang rokok asal luar negeri yang sudah menerapkan aturan batas maksimum kandungan nikotin (gue juga gak tau, maklum gue bukan perokok :p). Seandainya benar pemerintah mengeluarkan kebijakan batas maksimum kadar nikotin seperti di luar negeri maka sepertinya para produsen rokok harus berfikir keras untuk menentukan/menciptakan bahan baku pengganti yang akan menghasilkan cita rasa yang sama atau lebih baik, minimal tidak jauh berbeda.

Ternyata... ketika peraturan sudah bermain dalam kancah cita rasa, maka saat itu juga otak produsen harus berputar lebih giat dalam mensiasati bahan pengganti yang sesuai dengan keinginan dari peraturan dan tetap tanpa melupakan tuntutan mempertahankan cita rasa bagi para penikmatnya...
Menjaga mutu saja sudah jadi pekerjaan yang cukup sulit, apalagi jika dituntut harus merubah bahan baku tanpa mengurangi kualitas/mutu, dan cita rasa produk akhir...

~sempet-pengen-jadi-produsen-makanan-bercita-rasa-tinggi :p *mimpi kali yee*

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

geekgirl: katanya sih kandungan alkohol 1% ke bawah gak haram. jadi yg haram tu yg kandungan alkoholnya di atas 1%.. alias "terasa".

Monday, January 17, 2005 7:33:00 PM