Buku "Emak"

 Friday, September 09, 2005

Akhirnya beres juga baca "Emak" karya Daoed JOESOEF. Buku yang isinya menceritakan kisah hidup Ibu dari Daoed JOESOF yang akrab di sebut Emak, secara keseluruhan cukup menarik untuk dibaca. Bahasa yang digunakan secara umum enak dibaca, tidak membosankan, ceritanya mengalir, hanya sayang dari Bab XI hingga Bab XIV ceritanya terasa terlalu berat, seperti bagian yang menceritakan soal kehidupan emak dengan negara republik & demokrasi, ceritanya agak terkesan janggal mengingat tokoh utama "Emak" adalah seorang yang tidak berpendidikan dan tidak bisa baca tulis latin, namun di cerita itu di ceritakan tokoh "Emak" terkesan cukup fasih dan faham dengan aneka istilah-istilah demokrasi, yang umumnya hanya di mengerti oleh orang terpelajar di zaman itu. Lihat pula resensi buku Emak.

Daoed JOESOEF merupakan orang Indonesia pertama yang oleh Sorbonne dianugrehi gelar doktor tertinggi dari jenisnya, yaitu Doctor d'Etat (apa hubungannya sama Coup d'Etat ya? :p) atau doktor negara, dengan predikat cum laude. Dia pernah menjadi mentri pendidikan di Kabinet Pembangunan III, dimana salah satu kebijakannya adalah soal NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang sempat jadi bahan perdebatan. Dia juga pernah menjabat sebagai Direktur Centre for Strategic and International Studies / CSIS (1972-1998). Lihat pula wawancara Daoed JOESOF dengan Kompas.

Dari buku "Emak" terlihat bagaimana Daoed JOESOF begitu mengagumi sosok Emak-nya. Di dalam buku itu memang terkesan tokoh "Emak" sebagai tokoh yang sempurna nyaris tanpa cacat. Tapi gue akui emang menarik juga membaca buku ini, terlihat begitu kuatnya pengaruh karakter Emak bagi kehidupan keluarga JOESOF. Hampir semua Bab cukup menarik, tapi ada bab yang cukup menarik bagi gue yaitu Bab XXI yang berjudul Emak dan Subang Berlian.

Di Bab "Emak dan Subang Berlian" menceritakan bagaimana emak menyikapi morat-maritnya kondisi resesi ekonomi dunia di tahun 30-an. Orang Amerika menyebut resesi ekonomi dunia ini sebagai "Great Depression", orang Belanda menyebutnya "Economische Malaise" sedang orang pribumi menyebutnya "Ekonomi Meleset". *Peringatan! ini spoiler lho...* Jadi diceritakan bagaimana efek "Ekonomi Meleset" yang membuat perusahaan-perusahaan bangkrut, para pegawai diberhentikan, toko-toko tutup. Efek lain dari "Ekonomi Meleset" adalah berhenti satu persatu teman-teman sekolah penulis dan saudara-saudanya akibat orang tuanya tidak sanggup lagi membayar biaya sekolah, dan hal itu ikut meresahkan penulis buku dan saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil. Anak-anak yang masih kecil itu juga di ceritakan oleh orang yang biasa mengurus sapi-sapi milik ayahnya bahwa susu yang mereka jual sering tidak laku, sering tekor akibat pembelinya yang orang-orang belanda pada balik ke negerinya, ditambah lagi kewajiban ayahnya yang harus merelakan sapi-sapinya di jual ke orang lain untuk membayar utang kawan ayahnya, akibat sang ayah yang menjadi penjamin bagi utang temannya.

Di tengah ketakutan anak-anak akan masa depannya, dengan tenang Emak menenangkan anak-anak bahwa mereka tidak perlu khawatir karena selama ini emak masih punya perhiasan subang berlian yang indah yang sewaktu-waktu bisa di jual jika keadaan terdesak. Anak-anak semua penasaran 'kok mereka tidak pernah melihat atau melihat emak menggunakan berlian itu setiap pergi ke pesta hajatan. Dengan tenang emak menceritakan kalo emak hanya memiliki subang berlian saja, tidak memiliki pasangannya seperti cincin berlian atau peniti. Tanpa pasangan tentulah subang berlian yang di pakai tidak akan serasi kata emak. Setelah Emak berhasil meyakinkan anak-anaknya bahwa Emak masih memiliki subang berlian, tenanglah anak-anak itu dibuatnya.

Ketika sang penulis (Daoed JOESOF) diceritakan merantau dan berhasil mengumpulkan uang untuk membeli pasangan bagi subang berlian emaknya, sang tokoh pulang kampung dan mengajak emak beserta saudara-saudaranya untuk pergi ke toko emas di "Hongkongstraat" dengan penuh kebanggaan. Reaksi emak hanya diam, kemudian matanya berkaca-kaca dan air matanya mulai meleleh di pipinya. Anak-anaknya menjadi kikuk, tidak tahu apa yang harus dilakukan selain berpandangan. Setelah menyapu air mata yang meleleh di pipinya, emak mencium dahi dan ubun-ubun anak-anaknya. "Emak bangga mempunyai anak-anak seperti kalian, terutama kau".

Setelah hening sejenak emak melanjutkan, "Subang berlian itu tidak ada. Seumur hidup emak belum pernah memiliki benda berharga seperti itu. Kalaupun nanti kau membelikan emak cincin berlian, cincin inilah yang bakal menjadi perhiasan berlian emak yang pertama". Semua anaknya hening dan emak melanjutkan kata-katanya "Subang berlian itu emak sebut-sebut supaya hati kalian tentram. Tak baik anak-anak sekecil kalian hidup dalam ketakutan, gelisah, cemas dan khawatir. Sekarang kalian sudah besar-besar, sudah lama bersekolah, dan sudah pintar, sudah bisa berpikir sendiri. Tetapi seusia kalian dahulu itu, disaat masih ingusan, kalian memerlukan adanya kepastian dan ketenangan supaya kalian dapat belajar dengan baik, bisa menikmati masa kanak-kanak dengan tentram". Kemudian penulis menceritakan akhirnya dia baru mengerti mengapa bapaknya dahulu terbatuk-batuk setiap kali mendengar emak menyebut-nyebut subang berliannya.

Yah mungkin bagian cerita itu lah yang lumayan menarik menurut gue, bagaimana dewasanya sikap orang tuanya (dalam hal ini tokoh "Emak") terhadap anak-anaknya yang tidak akan membiarkan ketakutan, kegelisahan, kekhawatiran menghinggapi anak-anaknya, meskipun memang terpaksa harus berbohong (ini mungkin yang disebut kebohongan yang baik - white lie?). Rasanya ideal sekali memiliki emak, ibu, mama atau apalah yang seperti itu, ibu yang selalu memberikan rasa tenang bagi anak-anaknya. Gue jadi gak heran kalo sang penulis buku "Emak" begitu kagum dengan sosok emak-nya.

Setelah membaca bagian ini, gue bagai berkaca pada diri sendiri, bagaimana gue ngerasa kayaknya masih jauh banget dari sikap dewasa seperti itu, yang tetap tenang dan bisa menenangkan orang-orang terdekatnya. Terasa ideal sekali tokoh "Emak" digambarkan sebagai pelindung dan pemberi ketenangan bagi anak-anaknya.

Kalo lagi iseng, kadang gue nonton tv yang acaranya infoteimen dimana isinya kadang gak jauh-jauh soal cerai para seleb. Gue ngebandingin antara para seleb dengan tokoh "emak" yang dah gue baca ini kok jauh yaa... kalo membandingkan, kok para seleb jadi terkesan egois, tidak memperhatikan stakeholder dari keluarga yang lainnya yaitu anak-anak. Entah gue gak tau gimana rasanya jadi anak yang tumbuh dari orang tua yang bercerai, mungkin secara psikologis akan jadi trauma bagi mereka bahkan sampai dewasa seperti kata artikel di rubrik konsultasi yang biasa ada di majalah atau tabloid.

Setiap dari kita adalah pemimpin, minimal bagi dirinya sendiri. Idealnya setiap pemimpin mampu memberikan perlindungan dan rasa nyaman bagi yang dipimpinnya. Setelah baca "Emak" gue ngerasa kalo bertanggung jawab, mampu memberikan perlindungan dan rasa nyaman bagi yang dipimpin atau lingkungannya sebagai salah satu indikator kedewasaan bagi setiap manusia. Kalo seorang ayah atau ibu tidak akur sehingga membuat anak-anak mereka menjadi merasa tidak nyaman dan aman sebagai anak apakah itu membuktikan kalo ayah dan ibu yang tidak akur itu belum memiliki kedewasaan? Entahlah...

Mungkin kita juga pernah mendengar akhir-akhir ini banyak anak-anak yang masih kecil sudah mencoba bunuh diri, ini gejala apa? Mungkinkah ini salah satu indikator kegagalan orang tua memberikan rasa aman bagi anak-anaknya. Mungkin anak-anak yang mencoba bunuh diri ini merasa buntu, tidak tahu harus menyandarkan tempat perlindungan kepada siapa? Mungkin ini juga efek buruk dari sinetron-sinetron yang memberikan gambaran bagaimana bunuh diri. Apa ibu-ibu jaman sekarang sudah terlalu sibuk, sehingga anak-anak lebih memilih melakukan bunuh diri ketimbang meminta perlindungan kepada ibu-ibu mereka?. Kalo ngeliat gitu gue sih bersyukur ngerasa masih lebih beruntung punya kedua orang tua yang selalu terbuka untuk di jadikan tempat berkeluh kesah.

Katanya, jaman sekarang pergaulan anak muda makin bebas, sampe yang namanya MBA (Married by Accident) sudah jadi hal yang umum. Kalo perkawinan terjadi atas dasar 'kecelakaan' apakah perkawinan itu akan serta-merta membuat pasangan yang MBA itu otomatis akan memiliki kedewasaan dalam bersikap?. Kalo tidak, wah kayaknya kasian anak-anak yang tidak tau apa-apa sejak kecil harus merasakan ketakutan dan ketidaknyamanan. Efek ketidak-dewasa-an orang tua bisa macem-macem bentuknya, salah satunya ya jadi bercerai itu. Gue pernah lihat ada pasangan keluarga yang bercerai saat anak mereka masih balita. Dulu waktu kedua orang tuanya belum bercerai gue suka liat muka anak balita yang ceria, banyak senyum dan tawa, pokoknya kalo gue liat tingkah polah anak itu ngegemesin, yah.. bikin gue yang ngeliat ekspresi mukanya aja jadi ikut bahagia. Tapi sekarang setelah kedua orang tuanya bercerai, gue liat anak itu terlihat lebih murung, banyak diem, gue jadi sedih juga ngeliatnya, anak sekecil itu harus ngerasain ketidakbahagiaan sejak kecil, padahal umur anak itu waktu lucu-lucunya buat seorang anak :(, Gue gak tau, apa itu juga membuktikan kalo anak kecil pun bisa merasakan ketidak bahagiaan yang ada di lingkungannya.

Mungkin benarlah apa yang pepatah lama katakan, "Wanita adalah tiang negara". Kalo para wanita berhasil mendidik, memberikan rasa sayang dan tentram bagi anak-anaknya, tentu mereka telah menyiapkan generasi masa depan yang mentalnya lebih kuat dan lebih bahagia, bebas dari ketakutan dan trauma masa kecil. Konon katanya ada yang bilang, jaman yang semakin maju ini telah menghasilkan suatu keironisan, dimana jaman yang maju atau modern telah mampu menghasilkan gedung-gedung yang megah, teknologi yang semakin canggih, tapi dibalik itu semua, (katanya lho) yang dihasilkan hanya manusia-manusia yang kerdil jiwanya.... (blah... nulis apa gua ini? :p)

Ah... andai semakin banyak wanita-wanita jaman sekarang yang memiliki kedewasaan, mampu memberikan kasih sayang, ketenangan dan rasa aman bagi keluarganya sebagaimana tokoh "Emak" yang baru gue baca ini... (yang jelas bukan kayak tokoh "Emak" di sitkom "Bajay Bajury")

0 Comments: