Media dan Gaya Hidup Masyarakat

 Thursday, October 28, 2004

Suntuk kerjaan belum juga kelar-kelar. Ya akhirnya ditengah malam, iseng-iseng buka website kompas edisi tanggal 23 oktober. Menarik juga baca kisah berita ini (lebih tepatnya sih tragedi kali ya), Jadi kisahnya adalah kematian seorang wanita berusia 24 tahun saat mencoba mengimplemen silikon ditubuhnya. Ya berita tentang kematian orang dengan kasus yang disebutkan diberita sebenernya bukan sekali ini aja, tapi udah beberapa kasus dah terjadi di Indonesia.

Menariknya juga kalo gue baca berita itu, setidaknya gue jadi bisa melihat beberapa kecendrungan masyarakat saat ini yang mau mengambil resiko yang besar demi merubah penampilannya agar terlihat lebih menarik. Umur 24 adalah umur yang sebenarnya bisa dikatakan umur-umur manusia menjelang kematangan berfikir (kata gue lhoooo). Kenapa? kalo kuliah, biasanya umur 24 itu sudah lulus dan sudah bekerja jadi biasanya cara berfikirnya kayaknya sih udah lebih berbeda (maju?) ketimbang umur belasan (remaja). Tapi untuk di berita ini, waduh sang korban kok kayaknya masih seperti anak-anak remaja yang selalu terombang-ambing oleh lingkungannya. Gue gak bisa nyalahin kalo sampe si korban jadi seperti itu, mungkin gue pun kalo di posisi yang sama seperti dia bisa jadi bakal melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan si korban.

Tapi dalam hal ini gue sebenernya pengen menuntut tanggung jawab masyarakat, terutama media masa, lebih-lebih Televisi atau Majalah/Tabloid. Menurut gue media-media ini seharusnya mengemban misi tidak hanya memberikan informasi dan hiburan tetapi juga harus memiliki rasa tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa (ca elah bahasanya....). Iya dooong gue setuju dengan pendapat siapa ya yang bilang kalo Indonesia itu adalah negara yang terbelakang (itu harus kita akui) dan untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, jelas membutuhkan usaha yang keras, dan disinilah menurut gue media masa memiliki peranan yang penting.

Kok jadi gak nyambung sih antara korban dengan media? tar dulu gue pengen bilang kalo media masa kebanyakan saat ini bergerak bebas sebebas-nya dan sepertinya memiliki kecendrungan tidak bertanggung jawab terhadap isi yang ditampilkan di medianya. Coba cek, media lebih menyukai menampilkan acara-acara gosip yang isinya hampir sama di setiap acara tv ataupun tabloid, ketimbang menampilkan berita-berita yang memotivasi pembacanya utuk berfikir maju. ya berfikir maju dalam arti sebenarnya.

Gue sebenernya sedih (beneran gue sedih nih) sama media sekarang yang cendrung mengabaikan kepentingan utama publik dengan kepentingan komersial media semata. Harus di akui kalo masyarakat memang lebih menggemari tayangan-tayangan "tidak mendidik" seperti sinetron, gosip, atau misteri-misteri dst, tak heran akhirnya media berlomba-lomba menyajikan acara itu. Tapi di balik itu gue menuntut peran media dalam mencerdaskan masyarakat, tidak semata mengejar keuntungan semata.

Kalo mengaharap media mau merubah format beritanya rasanya akan sulit, karena jelas orientasinya adalah keuntungan. Oleh karena itu gue sih sebenernya mengharapkan sekali pemerintah berperan aktif dalam "memaksa" media untuk mengemban tanggung jawab mendidik masyarakat. Parahnya usaha "pemaksaan" ini pasti akan ditanggapi secara negatif oleh pers, karena trauma oleh zaman-zaman orba yang membredel berbagai media yang tidak segaris dengan pemikiran pemerintah.

Kalo lihat artikel atau apalah yang dihadirkan oleh media masa baik televisi ataupun majalah-majalah kebanyakan mengumbar konsumerisme ataupun hedonisme. Terus terang gue agak-agak muak lho liat acara-acara life style, apalah bentuknya mau soal fashion terbaru, gembar2 kartu kredit, gaya gaul, gaya hidup bebas dan hal-hal sejenisnya. Gue sudah melihat bahwa media saat ini ternyata memainkan peranan yang lebih kuat pada pembentukan karakter seseorang ketimbang orang tua atau lingkungannya sendiri.

Kembali ke contoh awal soal kematian korban silikon. Gue yakin seyakin-yakinnya dia mau sampe bela-belain memperbesar payudaranya dengan silikon yang berbahaya karena dirinya menganggap itu akan membuat dirinya menarik di hadapan lawan jenis. Kenapa dia sampai berfikir begitu, gue hampir pasti yakin pasti dia termakan definisi kecantikan adalah memiliki payudara yang besar seperti digembar-gemborkan oleh media. Mungkin memang hal tersebut benar dapat menarik bagi sebagian orang tapi apakah semua orang berfikir begitu? gue rasa gak semua. Nah yang gue ingin rasanya menggugat media-media (baik dalam ataupun luar negeri) dimana mereka bersama industri-industri yang terkait (kapitalis) bisa dengan seenaknya memaksa seseorang untuk mengikuti apa yang mereka katakan di media entah itu soal definisi kecantikan, gaya hidup atau apalah.

Misalkan, majalah remaja mempersepsikan kalo cewe yang asik adalah cewe yang begini dan begitu di artikelnya yang kadang tidak ada kaitannya dengan upaya "memajukan" fikiran remaja untuk berfikir lebih mandiri kreatif atau apalah, tapi kadang malah disodorkan berbagai artikel trip/trik yang kurang penting, seperti masalah fans ke artis, bagaimana merawat tubuh dll. kayaknya "agak jarang" mengarahkan remaja untuk berfikir maju, kreatif inovatif (ini asli subyektif dari gue, terus terang gue udah gak baca lagi yang kayak ginian - tapi terakhir kali gue baca sih gitu).
Atau majalah untuk pria yang menjejali halaman-halamannya dengan wanita yang cantik, seksi, berkulit putih mulis, hidung mancung, berdada besar, dan mungkin bertampang indo sebagai wanita yang cantik. Alhasil mungkin gue yakin sebagian pria-pria termasuk juga wanita-wanita secara tidak langsung akan membuat definisi baru tentang kecantikan seperti yang sering ditampilkan di medianya.

Hal seperti ini tentu saja jika berlangsung terus menerus secara tidak disadari akan merubah tuntutan seseorang terhadap standar yang ada. Dalam hal ini adalah standar kecantikan. Coba saja jaman dulu, jaman nenek-nenek atau orang tua kita hidup waktu muda, rasanya definisi kulit putih, hidung mancung tidak dipersoalkan sebagai standar kecantikan yang mutlak. Tapi saat ini karena semua media menjejali dengan berbagai wajah wanita-wanita yang cantik seperti gue sebutkan diatas, maka gak heran alam bawah sadar kebanyakan dari kita akan mempersepsikan bahwa kecantikan adalah berkulit putih (Lihat iklan pemutih yang semakin menggila, padahal orang eropa malah ingin menggelapkan kulitnya). Cara-cara media seperti ini yang gue anggap "gak bertanggung jawab" karena jujur aja sebagian besar kulit orang indonesia itu memang udah dari sononya sawo matang, cuma karena kekuatan media akhirnya sebagian orang yang berkulit sawo matang dipaksa untuk menerima kenyataan baru bahwa cantik itu berkulit putih, atau untuk kasus Anis yang menjadi korban silikon mungkin memiliki definisi kecantikan itu memiliki payudara yang besar. Kasian orang-orang ini harus menerima standar baru kecantikan karena dikte dari media-media yang di kuasai oleh segelintir kaum dan mempengeruhi sebagian besar masyarakat luas.

Sudah saatnya cara-cara seperti ini dihentikan, persepsi yang dipaksakan oleh media dan industri yang terkait jelas hanya akan menguntungkan media dan industri yang terkait itu seperti industri kosmetik, pemutih kulit, doktor bedah kecantikan, industri obat (singset langsing badang?) dan sebagainya mungkin juga termasuk fashion, lifestyle, dll.

Sudah saatnya menurut gue pemerintah campur tangan dalam hal ini. Gue tau ini memang kontroversial karena akan mematikan berbagai sumber pendapatan media yang terkait. Dan saat terjadi polemik di masyarakat, media cendrung menampilkan opini-opini masyarakat yang mendukung kepentingan industri-industri ini. Taruhlah contoh beberapa waktu yang lalu soal kontroversi film "Buruan Cium Gue", yang gue perhatikan sebagian (tidak semua memang) media menampilkan bebagai nara sumber yang lebih banyak mendukung peredarannya ketimbang yang menolak. Secara tidak langsung masyarakat digiring bahwa hal itu adalah hal biasa. Harus diakui memang Indonesia bukan negara agama, tapi gue rasa nilai moralitas dunia timur seharusnya tidak lekang begitu saja oleh datangnya pengaruh budaya asing yang belum jelas benar dimana manfaatnya.

Okelah anggap itu sebagai suatu realita, tapi gue gak yakin kalo itu juga sudah menjadi realita di suatu daerah tarolah daerah pedesaan. Gue rasa hal-hal realita "negatif" di suatu masyarakat tidak perlu di sebarkan ke daerah lain yang belum mengalaminya melalui media-media.

Kadang ditengah frustasinya gue terhadap ketidak mampuan pemerintah mengontrol penyiaran/penulisan yang cendrung tidak bertanggung jawab gue sempat berfikir agar pemerintahan sat ini menjadi pemerintahan yang totaliter. Gue mau pemerintah yang bisa memaksa media untuk menuruti pemerintah untuk mengurangi kalo perlu melarang hal-hal "tidak berguna dan menyesatkan" itu dari media-media di muka bumi Indonesia. Dan tentu saja pihak pemerintah harus lah menjadi orang yang bersih terlebih dahulu sebelum melarang-larang hal ini. Ya intinya sebelum memaksa orang lain pihak pemerintah harus memaksa dirinya dan anggota-anggotanya untuk bersih dulu.

Ada yang bilang bahwa urusan moral itu urusan pribadi. Gue sama sekali kurang setuju, kalo sudah menyangkut orang banyak maka urusan moral adalah menjadi urusan publik. Gue lebih suka pemerintah mendoktrin rakyatnya menjadi warga negara yang berpikiran maju ketimbang membiarkan media berbuat sesuka hatinya menyiarkan/meberitakah hal-hal yang "gak penting" dan cendrung memboroskan.

Gue pengen pemerintah merubah doktrin anak-anak di sekolah. Contoh, mulai sekarang jangan adalagi di buku-buku tertulis bahwa "Indonesia adalah negara yang gemah ripah loh jinawai, sumber daya alam yang berlimpah, letak posisi yang strategis di dua benua" dll. Gue lebih suka, mulai sekarang pemerintah mendoktri buku-buku pelajaran dari anak TK sampe ke orang2 yang udah kerja kalo perlu dengan selogan "Indonesia adalah negara miskin yang tidak punya harga diri dimata internasional, tapi itu bukan akhir segalanya, Indonesia bisa menjadi negara yang di hormati, disegani dan sejajar dengan bangsa lain asalakan seluruh rakyat indonesia bertekad untuk mencapainya" de el el. Indonesia adalah negara yang memiliki banyak utang, agar Indonesia masih memiliki harga diri, Indonesia harus membayar, untuk membayar itu kita semua harus bekerja keras, meskipun hasilnya tidak akan kita rasakan, setidaknya anak cucu akan mendapatkan manfaat kita (seperti tagline-nya Aa Gym nih :p)

Ya pokoknya gue pingin pemerintah lebih mendoktri rakyatnya untuk bekerja keras, anti generasi malas, lebih menghargai orang yang memiliki kepribadian yang baik (jujur, adil, pandai, bijak, dll) ketimbang menghargai orang karena jabatan, dan kekayaan. Gue ingin pemerintah memfokuskan masyarakatnya lebih memikirkan masa depan bangsa ketimbang memikirkan dirinya sendiri.

Gue agak sedikit merenung dengan apa yang di ucapkan dengan temen gue saat gue main ke kosnya di bandung. Temen gue bilang, "vi kalo di bandung tuh ibaratnya gaya adalah segalanya, kalo ada anak sekolah punya duit sepuluh ribu sedang kelaparan, dia bakal lebih suka beli gesper yang bikin gaya ketimbang beliin makan yang ngenyangin dia" Kalo memang itu benar terjadi, ironis menurut gue.... gaya itu boleh aja tapi kalo kita ini udah maju, kita jangan ngikutin gaya atau life-style dari negara asing yang udah maju, kita harusnya meniru etos kerja mereka yang mau bekerja keras... jangan mau gayanya tapi kerjanya gak becus... akhirnya liat sendiri deh tuh pejabat-pejabat yang banyak gaya mobilnya mobil mewah kerjaaan gak beres (ex: TKI, Haji, dll), Korupsinya gila-gilaan lagi. Itulah yang gue sesalkan... gaya hidup sebagian orang indonesia itu melebihi kemampuan sebenarnya.

Coba liat kembali beberapa waktu yang lalu saat acara kontes reality show merajai media. Media lebih banyak menggembar gemborkan idola-idola instan ketimbang menampilkan sosok remaja yang sukses menjuarai olimpiade fisika. Ironis :( negara yang membutuhkan banyak orang pandai di kalah kan oleh artis-artis itu. Gue bukan anti artis, tapi kita harus jujur pada diri sendiri, kita ini negara tertinggal, yang kita butuhkan untuk mengejar ketertinggalan itu adalah orang-orang yang pandai. Artis tetap dibutuhkan untuk menghibur tapi tetap lebih banyak dibutuhkan orang-orang pandai untuk segera memakmurkan negeri ini. Ironis memang orang-orang pandai tidak mendapat tempat di Indonesia, akhirnya beruntunglah negara-negara lain yang memanfaatkan kepandaian putra-putri Indonesia untuk bekerja pada mereka yang andaikan saja mereka bekerja untuk Indonesia hasilnya bisa dirasakan oleh kita juga. Ironis ya memang ironis....

Untuk media hentikanlah tayangan atau berita yang lebih menjurus ke konsumerisme dan hedonisme, bantulah mendidik masyarakat untuk menyadari pentingnya mengejar ketertinggalan bangsa ini dari bangsa lain. Mungkin suatu saat jabatan Pemimpin dan Kepala Pemerintahan di Indonesia perlu dipisahkan, selama ini kedua jabatan itu di emban oleh satu orang, yaitu Presiden RI. Jadi seperti negara-negara maju lainnya di dunia seperti Britania (Inggris), Jepang, Singapura, Malaysia yang memiliki jabatan Kepala Negara (Presiden/Raja/Ratu) dengan jabatan Kepala Pemerintahan (Perdana Mentri), jadi 2 beban tugas tadi tidak diarahkan kepada satu orang saja. Kepala negara berperan penting dalam membangun karakter bangsa seperti sikap rajin bekerja, sikap jujur bisa dipercaya, sikap yang menjungjung tinggin martabat, kemuliaan hidup diatas segala-galanya termasuk diatas jabatan/pangkat, atau kekayaan, Ya intinya setiap orang merasa memiliki martabat yang tinggi selama mereka berbuat baik, kalo sekaranga kan kebalik orang yang dianggap memiliki martabat adalah orang yang memiliki jabatan atau harta. Nah kalo Kepala pemerintahan baru deh yang wajib menjalankan jalannya roda pemerintahan.

Yang jelas gue menuntut media itu janganlah menggembar-gemborkan kemewahan dan hedonisme kepada masyarakat kita yang memamang pada dasarnya belum mampu mengikuti gaya hidup seperti itu.... gue lebih respek kalo memang media itu ketimbang menggembar-gemborkan kemewahan & konsumerisme, mengajak pembacanya untuk mengarahkan pembaca/penontonnya membantu saudara-saudaranya yang banyak sekali kurang beruntung. Tapi itu sepertinya mustahil, karena bagaimanapun jika mengandalkan dari harga jual majalah tanpa iklan (yang menggiring ke konsumerisme) tentunya dapat membahayakan neraca keuangan dari media itu sendiri... ya bisa dibilang pada akhirnya ini seperti lingkaran setan yang tidak ada putusnya...

Lebih baik media berkonsentrasi memakmurkan dan memajukan cara berfikir yang lebih maju, berfikir VISIONER bagi masyarakat indonesia untuk kemajuan bangsa Indonesia juga. Akhir kata gue cuma bisa berdoa, dan berusaha setidaknya untuk memulainya dari gue sendiri... karena gak enak juga nih kalo gue nuntut tapi gue sebenernya harus dituntut berubah.... semoga kita semua bisa berubah ke arah yang lebih baik. :) *mencoba berfikir optimis ditengah keputusasaan*

~tema-nya-terlalu-melebar-kemana-mana...:)
External Link: http://www.kompas.co.id/utama/news/0410/23/211021.htm

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Linda: pengen baca sampe abis tulisannya tapi panjang bgt :( Setuju kalo media punya peranan besar dalam mencerdaskan kehidupan ini.... Jadi gimana, tertarik untuk berkecimpung dalam dunia media? :D itung2x untuk mencerdaskan bangsa juga...

Friday, October 29, 2004 1:02:00 PM  

Anonymous Anonymous said...

wuaaaaaaaaaaaah..

keren juga,,,iya tu bener bgt,,
gara-gara sinetron-sinetron GA JELAS itu..masa iia anak2 SD dandanannya jadi gag bgt gt..
katannya ngikutin pelm ini lah, itulah

aneeeeeh,,
owh ya..dan artikel lo ini membantu gw sangadh wad UAS gw "TERCINTAH"

tangkyu..

Monday, January 28, 2008 2:57:00 PM