Beking

 Wednesday, June 23, 2004

Sebelum berangkat, sempat ngobrol cukup lama dengan temen main yang kebetulan berprofesi sebagai pengemudi angkutan kota (angkot). Ya ngobrol ngalor-ngidul seputar lalu lintas kendaraan di daerah bogor. Dari masalah kemacetan jalan, trayek hingga ke masalah béking (Backing?).

Pembicaraan yang awalnya biasa-biasa menjadi semakin menambah info saat gue tanya masalah kemacetan di pertigaan Perumahaan IPB dekat dengan terminal angkutan kota Bubulak. Temen gue ini bilang kalo sekarang udah lancar, terus terang ke temen gue ini kalo gue gak percaya. Soalnya waktu pas gue mau ke IPB Dramaga, gue pasti lewatin pertigaan ini dan gilaaaa macetnya lumayan panjang. Makanya gue rada gak percaya kalo pertigaan ini sudah agak lancar.

Penyebab kemacetan ini kalo menurut gue yang paling utama adalah ketidak disiplinan supir angkot yang seenaknya ngetem (menunggu penumpang) di daerah pertigaan Perumahan IPB, di samping lebar jalan yang semakin lama dirasa tidak memadai untuk jumlah kendaraan yang semakin bertambah. Sering gue gregetan juga sama supir yang biasa mangkal di pertigaan, kagak punya perasaan dengan pengendara lainnya. Gara-gara ngetem arus lalu lintas rada terhambat.

Sebagai pengguna angkot, kadang... gimana ya... emang paling enak itu kalo naik dari pertigaan atau perempatan ;). Sebenernya..., gue sih yakin penumpang bisa dan mau aja dipaksa untuk naik ditempat yang ditentukan kalo memang supir mau disiplin. Masalahnya supir tau kalo penumpang suka naik dari suatu tempat, akhirnya supir menunggu penumpang di situ, yang seringkali menyebabkan arus lalu lintas jadi macet.

Nah yang kadang bikin gue sebel itu, kadang (dalam pandangan gue) aparat yang berwenang seperti Polisi Lalu Lintas (Polantas) dan Dinas Lalu Lintas Angkutan & Jalan (DLLAJ) kurang tanggap dengan masalah Lalu Lintas. Sering jalan sudah macet tapi ya itu kok seringnya gue gak lihat ada aparat. Nah yang lebih kesel lagi ada aparat tapi tetep macet, dan yang paling kesel adalah kalo ada aparat tapi kayaknya gak berbuat apa-apa seperti duduk-duduk atau tidak menindak supir biang kerok kemacetan.

Hal yang terakhir gue sebutkan diatas yaitu ada aparat tapi biang kerok kemacetan tidak ditindak ternyata sebagian besar memang memiliki hubungan. Untuk kasus angkot yang seringkali ngetem di kawasan Jembatan Merah dan juga kawasan pertigaan Perumahan IPB ternyata seperti di ceritakan temen gue ini memang ada hubungan. Tidak mungkin angkot itu ngetem dengan cuma-cuma terlebih saat ada aparat, supir-supir angkot harus memberikan "upeti" kepada para calo-calo (kadang disebut juga timer) dan kepada aparat jika memang ada. Disinilah aparat seringkali bertindak sebagai béking para calo-calo.

Kembali ke pertigaan Laladon, seperti disebutkan temen gue, sekarang lalu lintas disana sudah agak lancar. Polisi sekarang tidak pandang bulu dalam menindak para supir angkot yang bandel nekat ngetem di pertigaan. Tanpa basa-basi, polisi langsung mengambil kunci mobil dari supir angkot, tanpa ngomong deh langsung action. Mau gak mau supir ngikutin polisi supaya dapet kunci angkotnya. Nah kalo udah kesana gue gak tau deh kelanjutan supir itu apa supir bakal kena tilang atau ada "negosiasi" khusus dengan polisi.

Pas denger itu gue agak heran juga, kok bisa sekarang polisinya tegas. Ternyata ada cerita dibalik itu. Jadi Selama ini polisi yang berwenang mengatur lalu lintas dikawasan pertigaan Laladon di pegang oleh Polisi Resort Bogor (Polres) sedangkan saat ini kawasan tersebut dipegang oleh Polisi Wilayah Bogor (Polwil). Kebanyakan personil Polres adalah orang Bogor, sedangkan personil Polwil kebanyakan orang-orang dari daerah lain seperti Bandung dan Sukabumi.

Gak tau bener apa enggak, kalo gak salah secara organisasi Polwil merupakan atasan dari Polres (bener gak sih?, sorry kalo salah) Jadi memang Polres harus tunduk kepada Polwil, nah ternyata meskipun memiliki bawahan ternyata Polwil juga memiliki personil sendiri. Dari pembicaraan dengan beberapa supir angkot, konon polisi dari Polwil kebanyakan polisi-polisi baru yang masih berada dalam masa pengawasan dari atasan. Menurut gue, gak heran kalo polisi dari Polwil lebih galak soalnya masih dalam masa pengawasan.

Nah karena galak dan tidak kenal kompromi inilah memang jalanan jadi agak lebih lancar. Tetapi di balik lancarnya lalu-lintas baik di kawasan Jembatan Merah ataupun di kawasan Pertigaan Perumahaan IPB menimbulkan "kerugian" bagi sebagian pihak seperti supir angkot, oknum aparat (Polisi & DLLAJ), dan calo. Seharusnya supir bisa mendapat penumpang lebih banyak menjadi berkurang, aparat dan calo yang biasanya mendapat "upeti" menjadi berkurang pendapatannya.

Simpati gue sama Polwil karena berhasil melancarkan jalur lalu lintas ternyata mulai berkurang setelah temen gue nyeritain juga bahwa ternyata pengambil alihan kawasan pertigaan perumahan IPB dari Polres ke Polwil diselingi dengan sebagian cerita kurang enak. Konon bukan hanya masyarakat umum seperti gue yang gregetan dengan kemacetan di kawasan itu ternyata juga penduduk sekitar (ya pastilah...).

Konon katanya temen gue, bahwa penduduk sekitar pertigaan yang tinggal di komplek perumahan IPB II, Sindang Barang, Bogor (makanya dari tadi gue nyebutnya kawasan pertigaan Perumahan IPB) bersama dengan yayasan pendidikan yang lokasi Sekolahnya berdekatan dengan kawasan pertigaan beserta masyarakat sekitar lainnya bergotong royong mengumpulkan uang untuk diserahkan kepada pihak Polwil sebagai "upeti" agar mau mengamankan jalan dari ulang angkot-angkot beserta calo yang masih membandel menunggu penumpang di pertigaan.

Nah hal ini nih yang gue bingung, katanya kita hidup dinegara hukum, seharusnya hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Aparat kepolisian yang harusnya menegakan hukum dan disiplin malah berubah menjadi pendukung ketidakdisiplinan. Sampai untuk meluruskan kembali tugasnya, masyarakat harus berpatungan "membayar" aparat agar menindak pelanggar kedisiplinan, seharusnya itu menjadi kewajiban mereka. Masyarakat sudah banyak dibebani dengan berbagai pungutan-pungutan dari yang resmi sampai yang gak jelas. Menurut gue pajak itu sudah termasuk pungutan resmi, sehingga seharusnya masyarakat tidak perlu lagi membayar Polwil untuk menertibkan para supir dan calo angkot. Tapi apa mau dikata mental dan kondisi ekonomi dari oknum aparat saat ini seperti itu.

Dengan dialihkannya pengawasan pertigaan Perumahan IPB, beberapa polisi yang selama ini menikmati keuntungan dengan menjadi béking calo-calo angkutan kota yang ngetem mulai mengeluh berkurangnya pendapatan mereka utamanya oknum Polres setelah datangnya aparat dari Polwil. Sebenarnya hasil dari "upeti" warga sekitar kepada pihak (oknum) Polwil tidak dimakan sendiri oleh oknum Polwil tetapi dibagi-bagi juga kepada oknum Polres. Hanya saja bagi oknum Polres, pengambilalihan kewenangan mereka selama ini kepada Polwil mengakibatkan penurunan "omset" pendapatan mereka. Keluhan ini kata temen gue berasal dari omongan orang Polres sendiri (Polres curhat ke supir angkot?).

Kalo pulang dari Stasiun Bogor malam hari (diatas jam 7 malam) biasanya angkutan dari kabupaten seperti jurusan Leuwiliang atau Jasinga mangkal di dekat Stasiun Bogor menunggu penumpang. Sebenarnya aparat kepolisian juga sudah tahu akan hal ini hanya saja tidak berani bertidak karena katanya supir-supir angkot beserta calonya dilindungi oleh oknum tentara. Nah baru-baru ini oknum tentara ini di kirim ke Aceh, sehingga di kawasan Stasiun Bogor tidak ada béking untuk supir dan calo-calo angkot jurusan ke Kabupaten (Leuwiliang), dan selang beberapa hari setelah tidak ada béking , terjadi kerusuhan antara supir angkot trayek 02 (Sukasari-Bubulak) dengan supir angkot 05 (Bubulak-Leuwiliang), konon kata temen gue sekitar 5 mobil jurusan Leuwiliang (05) hancur dirusak oleh supir angkot jurusan Sukasari (02).

Kalo ngomongim masalah dunia per-béking-an di Indonesia kayaknya sudah bukan jadi barang aneh. Tanpa kerja sampingan menjadi béking, sulit rasanya mereka untuk hidup layak. Kadang gue teringat beberapa kejadian di koran-koran tawuran antara Tentara dengan Polisi (malu-maluin nih!), ternyata sumber penyebabnya adalah rebutan lahan béking.

Nah sekarang gue bingung nih, milih presiden yang mana ya yang bisa menyelesaikan masalah ini yang cukup sulit dan sudah menjadi budaya... semoga siapapun yang kepilih pikirin dong nih nasib aparat seperti Polisi, DLLAJ, dan juga Tentara. Semoga dengan meningkatkan kesejahteraan hal-hal seperti ini tidak akan terjadi *kok jadi berpolitik gini ya?*.

Bagaimanapun juga aparat-aparat ini akan tetap dibutuhkan oleh kita, oleh karena itu sudah selayaknya negara segera memperhatikan mereka termasuk juga abdi-abdi negara seperti PNS. Pokoknya hidup Aparat Pemerintah yang BERSIH!!! yang tidak bersih cepet-cepet tobat kalo gak bisa tobat juga, mudah-mudahan cepet mati biar dosanya gak tambah banyak...

~cepetan-dong-Indonesia-jadi-negara-makmur

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Bogor memang di kenal sebagai peternakan angkot...

Sebaiknya pemkot Bogor membuat program seperti KB bagi angkot yang diberi nama AB (Angkot Berencana) atau setidaknya dilakukan sosialisasi penggunaan kondom di kalangan angkot (untuk mengetahui lebih lanjut mengenai program AB atau kondom angkot tersebut Anda dapat tanyakan di apotik2 terdekat)...

Mengenai polisi...
sejak pisah dari TNI, polisi sudah seperti raja kecil...Sampai saat ini belum ada badan di luar kepolisian yg secara langsung dapat memberi hukuman terhadap polisi yg berbuat salah (saat ini hanya provost yang bisa menghukum polisi, tapi kita tau, provost masih bagian polisi jadi sama aja boong)...Untuk itu diperlukan badan di luar kepolisian yg dapat menghukum polisi yg bertindak salah...


- LU -

Thursday, June 24, 2004 12:21:00 AM  

Blogger wida said...

mimpi jangka panjang nih :
Indonesia bisa bersih sebersih2nya
eh vi, g link ya..

tia,

Thursday, June 24, 2004 9:50:00 AM  

Blogger alvifauzan said...

Yah selama bermimpi masih gratis, tidak pernah akan rugi untuk bermimpi, ya kan? :) Meskipun kita (kita? gue kali...) tidak tahu sampai kapan mimpi itu bakal terwujud.
Kalo mau di link ya silahkan aja :)

Thursday, June 24, 2004 11:11:00 AM