Minggu ke-51 2007

 Saturday, December 22, 2007

Hari sabtu di minggu ke-51 2007, menjelang akhir tahun.... tiba-tiba jadi pengen nulis blog yang sudah lama nganggur.

Jadi sejak Iedul Adha kemarin, gue sekarang lagi santai-santai nih di rumah. Bebas dari ngurus kerjaan rutin. Pulang kerja sebelum libur panjang, KRL ekonomi yang ke Bogor penuh banget (kapan sih KRL Ekonomi gak penuh?) cuman kali ini keretanya padet banget ampe badan gak bisa gerak-gerak. Payung gue yang gue taruh di kantong tas gue ilang gara-gara kepenuhan penumpang, bahkan ada ibu-ibu yang sampe antingnya aja ilang gara-gara penumpangnya kepenuhan :( Sebel juga payung baru di pake udah ilang, heran payung aja masih di embat!

Setalah sholat Iedul Adha, seharian kerjaannya banyakan di depan komputer, mau ngerjain sesuatu... eh yang ada malah main game, wasting time! Sore hari, datanglah dari panitia kurbanya yang ngasih daging kambing sama sapi, lumayan gak perlu ngantri & rusuh kayak di berita tv-tv buat dapet daging gratis... :)

Kebetulan kemarin baru pinjem motor, jadilah pas hari Jum'at pagi di sempet-sempetin jalan-jalan ke Bogor nyari soto kuning. Gue gak tau soto kuning mana yang enak, cuma kalo yang gue pernah baca katanya sih di sekitar Gang Aut. Kebetulan di sekitar Gang Aut ada beberapa yang jualan, ya udah ambil secara 'radom' aja. Gue sama istri gue ambil dua potong cungkring begitu juga istri gue ambil satu potong cungkring sama satu potong daging kepala. Sama nasi, harga soto yang kami harus bayar Rp 15.000 berarti sekitar Rp 7.500 per mangkok dengan perkiraan harga nasi sekitar Rp 1.500 dan cungkringnya Rp 3.000 per potong. Soal rasa yah.... lumayan enak, kuahnya warna kuning (namanya juga soto kuning!) enak, rasa santan dan bumbu rempah-rempahnya begitu berasa.... hmmm lumayan deh, kapan-kapan mungkin bisa di coba lagi.

Pulang dari makan soto, iseng-iseng motor gue arahin ke suatu perumahan 'mewah' di daerah antara TMP Dreded & Bondongan. Perumahan ini memiliki suasana yang cukup menarik, enak untuk di buat rekreasi, hanya saja begitulah tipikal rumah di Indonesia, keren di perumahaanya tapi keliatan kampungan banget di sekitar perumahannya, jadi agak-agak kontras, seperti melihat 'surga' dan 'bukan surga'. Rencananya di sini mau di bikin tempat perbelanjaan dengan trotoar yang lebar-lebar, seperti nama jalan di Singapura yang memang beken sebagai tempat belanja. Di sini juga di udah di buka tempat wisata air yang konon katanya terbesar di Indonesia. Sayangnya gue kok gak tau tempatnya di mana, emang kebetulan gue juga gak ngiderin semua komplek itu. Secara keseluruhan, lingkungan di dalam perumahan itu sangat enak dan nyaman, pemandangannya indah dengan 'view' menghadap ke Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Cuma ya itu dia, keluar dari perumahan itu kayak balik lagi ke kehidupan 'normal' -- macet, angkot ngetem sembarangan, polusi udara, panas, dll!, agak kontras antara keindahan di lingkungan perumahan dengan lingkungan di sekitarnya.

Siang harinya, kebetulan temennya istri gue main ke Bogor. Sambil berhujan-hujanan kami berdua naik motor ke tempat janjian ketemuan. Temen istri gue ini kebetulan lagi kerja di daerah Pekanbaru, dan dari cerita-ceritanyanya cukup menarik juga menurut gue. Jadi dia cerita di daerah Sumatra itu masih banyak banget hutan-hutan dan perkebunan, kata selama 3 jam perjalanan bisa jadi yang di lihat itu cuma hutan-hutan atau kebun kelapa sawit. Adakalanya di tengah perkebunan sawit ada rumah-rumah transmigran yang cukup ramai dan semarak, bahkan semenjak booming harga kelapa sawit, banyak dealer mobil yang menawarkan mobil-mobil kepada mereka, dan kerennya lagi mobil disana laku kayak 'kacang goreng'

Sayangnya yang bisa menikmati itu kebanyakan adalah transmigran yang berasal dari pulau jawa, sedang penduduk aslinya kondisi ekonominya tidak berubah. Kalo kata temennya istri gue ini, memang di pulau ini suku-sukunya memiliki 'stereotype' tertentu. Kalo orang dari jawa ditanya mau pergi kemana, dia akan bilang cari kerja, kalo orang dari suku X (gak usah di sebut ya!) dia akan bilang cari angin (karena mereka itu males-malesan katanya), kalo orang dari suku Y ditanya dia akan jawab cari duit. Alhasil perekenomian di wilayah itu lebih banyak di nikmati oleh kaum pendatang. Penduduk asli yang males, katanya suka jadi 'preman', sehingga tak heran kalo temen gue ini bawa barang dengan truk kontainer, maka lebih aman jika membawa pengawal.

Sekarang gue jadi lebih paham, kenapa Polisi dan TNI di daerah suka bentrok fisik (kadang dengan senjata). Karena setelah jaman reformasi para tentara tidak di perkenankan membawa senjata, akibatnya perusahaan-perusahaan lebih memilih menggunakan Brimob untuk mengawal barang. Karena pernah kejadian kata temen kalo tentara itu kalah sama preman akibat gak punya senjata. Kalo udah begitu jelas aja ada kecemburuan sosial, soalnya sekarang polisi jadi terlihat 'lebih makmur' ketimbang tentara. Tapi kalo kata temen istri gue ini, semenjak polisi dipegang Jend. Sutanto suasana di jalanan sumatra jadi lebih aman ketimbang dulu. Memang yang namanya penjahat mah tetep ada, bahkan kalo kata istrinya, pernah suatu malam polisi sama perampok kejar-kejaran sambil nembakin di depan rumahnya... wah ternyata tinggal di sumatra masih serem juga ya...

Oh iya selama liburan ini, gue akhirnya sempet juga baca buku yang gue beli dengan harga diskon Rp 10.000 yang aslinya harga Rp 65.000. Buku yang berjudul "Tyranny of the Bottom Line (Mengapa Banyak Perusahaan Membuat Orang Baik Bertindak Buruk)" cukup menarik juga menceritakan bagaimana perusahaan-perusahaan demi mengejar keuntungan mengorbankan kepentingan 'stakeholder' . Di situ di sebutkan bahwa 23% perusahaan yang terdaftar di Fortune 500 ternyata pernah terindikasi atau terbukti bersalah melakukan pelanggaran atau kecurangan.

Gila emang parah juga tuh kiprah perusahaan-perusahaan besar kalo menurut buku itu. Di buku itu di ceritakan bagaimana suatu perusahaan yang sangat besar tiba-tiba memutuskan menutup pabrik untuk di pindahkan ke negara berkembang dengan alasan penghematan. Dan impactnya jelas terasa, pabrik yang ditutup itu telah menimbulkan kemerosotan ekonomi, pengangguran semakin banyak, kekerasan semakin banyak terjadi, begitu pula dengan tingak bunuh diri yang semakin banyak. Gue nangkep kesan bahwa si penulis buku ini ingin menekankan bahaya memfokuskan pada Bottom Line (angka rekap final tentang keuntungan/kerugian dari suatu neraca keuangan), ada hal-hal lain yang tidak pernah di perhitungan dalam laporan keuangan seperti dampak sosial, ekonomi bagi masyarakat sekitar yang terkena imbas dari perusahaan.

Dari situ gue jadi mikir, ternyata perusahaan gede yang kelihatan mentereng tidak selamanya baik. Setelah gue menyatakan resign dari tempat yang sekarang rabu kemarin (meski belum ada surat resmi) gue jadi harap-harap cemas, dapet gak ya tempat kerja yang baru, yang suasananya lebih enak. Di pikir-pikir gue nekat juga resign tapi belum di terima kerja di manapun, memang sih udah ada perusahaan yang bilang mau pake tenaga gue buat 'maintain system'-nya, tapi itu semua belum pasti juga...

Hehehe dasar nekat juga gue, udah punya tanggungan malah berhenti kerja. Tapi Bismillah deh, mudah-mudahan di awal tahun 2008 gue bisa dapet tempat kerja yang lebih baik. Gak muluk-muluk harapan gue, dapet suasana kerja yang kondusif, temen-temen dan lingkungan kerja yang baik, dan kalo bisa kompensasi materi yang diberikan lebih menarik :)

0 Comments: