Masa Depan Tidak Ada Yang Pasti

 Friday, October 03, 2008

Ketika Boeing 747 di luncurkan, beberapa pengamat memperkirakan Boeing 747 hanya akan di produksi sebanyak 400 unit saja, karena adanya pengembangan pesawat supersonic seperti Concorde, faktanya hingga tahun 1993 produksinya sudah melampaui 1000 unit, tahun 2008 sendiri sudah mencapai 1405 unit. Sebaliknya pesawat supersonic yang berhasil dikembangkan dan di produksi hanya Concorde saja, itupun sekarang sudah tidak beroperasi karena besarnya biaya operasional, secara sederhana bisa dikatakan tidak ekonomis.

Ketika Linus Trovalds menciptakan Linux Kernel (bagian inti dari suatu Sistem Operasi), niatnya hanya “untuk senang-senang” (Just for Fun), ketika popularitasnya semakin menanjak seorang professor yang bernama Andrew S. Tanenbaum mengkritik Linux sebagai ketinggalan jaman (obsolete) karena mengembangkan kernel dengan tipe “Monolithic” berbeda dengan GNU Hurd yang kernelnya bertipe “Microkernel”. Sang professor meramalkan bahwa beberapa waktu kedepan Linux akan di tinggalkan, karena orang-orang akan menggunakan GNU Hurd atau BSD, faktanya pengembangan BSD tidak berjalan karena adanya tuntutan hak cipta kepada BSD yang menyebabkan pengembangan BSD menjadi lambat, begitupula dengan GNU Hurd yang ternyata implementasinya cukup kompleks yang memperlambat target release. Akhirnya para pengembang justru memilih Linux Kernel sebagai Sistem Operasi bebas (Free), dan kini Linux lebih popular daripada GNU Hurd dan BSD.

Ketika para pegawai memutuskan untuk mengambil asuransi agar kehidupannya menjadi lebih tenang atau mengambil paket pension agar masa tuanya bisa tetap memiliki uang, Kini di tahun 2008 sebagian harapan itu tidak tercapai karena ternyata pihak yang mereka andalkan tidak mampu memenuhi janjinya. Tahun 2008, Lehman Brother menyatakan bankrut, hal ini menyebabkan kekhawatiran dan demo dari para pegawai yang sudah mengambil paket pension dari Lehman Brother. Di berita yang pernah gue saksikan (kalo gak salah di VOA), orang-orang Amerika yang diwawancari menyatakan kekhawatirannya karena setiap hari uang pension mereka terus berkurang atau hilang alias hangus. Beberapa orang yang diwawancara juga menyatakan mereka akan tetap bekerja meskipun nanti mereka memasuki usia pension akibat ketidakyakinan mereka terhadap paket pension mereka. Ketika orang-orang tahu AIG adalah perusahaan asuransi yang kuat, kini di tahun 2008 perusahaan itu nyaris bangkrut (atau masih akan ada kemungkinan untuk bangkrut?). Diberitakan bahwa beberapa nasabah (jika tidak salah termasuk di Singapura) beramai-ramai mencairkan polisnya karena kekhawatiran polis mereka akan hangus akibat ancaman kebangkrutan perusahaan ini.

Melihat cerita diatas, semakin nyata bahwa kemampuan manusia dalam memprediksi masa depan memang lemah. Manusia hanya mampu menduga dengan akalnya, bahkan manusia mencoba membuat pemodelan terhadap suatu masalah atau domain. Sebagai contoh manusia mencoba membuat pemodelan perubahan cuaca dengan menggunakan computer super canggih, pemodelan pergerakan pasar, pemodelan pertumbuhan jumlah penduduk, dan berbagai pemodelan-pemodelan lainnya. Ketika pemodelan yang manusia buat ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, maka bukan salah dari fakta dari suatu kejadian tapi ketidakmampuan dan keterbatasan manusia dalam membuat pemodelan.

Kemampuan manusia memang terbatas dalam memahami masa depan, maka tidak pantas bagi manusia untuk menyombongkan diri, maka tidak ada salahnya (dan seharusnya) bagi manusia agar lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT. Masa depan memang tidak pasti, tapi kita tetap berharap hal-hal yang baik ingin tetap kita dapatkan, maka berdoa kepada Allah SWT tentu lebih utama, ketimbang menyombongkan diri dengan merasa akal kita adalah segala-galanya, merasa akal kita pasti mampu memprediksi masa depan, faktanya manusia terlalu lemah untuk memahami masa depan dengan akalnya…

Masa depan memang akan tetap menjadi misteri bagi manusia...

Tsunami Finansial

Pertengahan September, jika kita mengikuti berita ekonomi, sebagian besar memberitakan masa depan ekonomi yang bakal suram akibat kasus “Subprime Mortgage”. Di Amerika, beberapa institusi finansial sudah banyak merasakan dampaknya, dari pengambilalihan “Fannie Mae” dan “Freddie Mac” oleh pemerintah AS, kebangkrutan “Lehman Brothers”, dan “American International Group” (AIG) yang juga terancam bangkrut, tapi beruntung masih di suntikan modal oleh pemerintah. Perusahaan yang lain harus rela di akusisi oleh perusahaan lain. Bahkan pemerintah AS yang tadinya sangat membatasi investasi di pasar financial dari modal asing atas dasar nasionalisme, kini terpaksa harus “mengemis” pada negara lain untuk mau menanamkan modalnya di pasar finansial untuk menyelamatkan perekonomian AS.

Bagaimana perusahaan yang besar, berusia lebih dari 100 tahun seperti “Lehman Brothers” harus merelakan dirinya bankrut?. Gue yakin orang-orang yang bekerja di sektor finansial bukanlah orang yang bodoh, mereka tahu resiko apa yang akan terjadi pada aktifitas mereka. Setidaknya menurut gue, kehancuran perekonomian ini karena lebih mementingkan keuntungan semata, ketimbang mempertimbangkan faktor yang lain seperti resiko. Intinya kejadian yang menimpa institusi di AS tidak lepas dari faktor “kerakusan individual” para pelaku di sektor finansial.

Sifat rakus atau tamak memang sepertinya sudah menjadi sifat dasar manusia, tak peduli orang miskin sampai orang kaya, orang bodoh sampai orang pintar memang paling suka mengumpulkan kekayaan materi. Tak segan-segan orang melabrak aturan yang ada demi memuaskan kepentingan pribadi mereka. Beberapa perusahaan finansial yang sekarang terlilit masalah ternyata membayakan gaji untuk “top executive” sangat tinggi, meskipun secara finansial perusahaan tidak terlalu baik. Jadi dengan kekuasaannya para eksekutif ini membuat keputusan yang memberikan gaji dan bonus yang sangat tinggi untuk diri mereka sendiri.

Ketamakan mereka terlihat bagaimana mereka begitu ekspansi memberikan kredit pada pasar “subprime” bukan pada pasar “prime”. Pasar “prime” mensyaratkan pemberian kredit pada seseorang berdasarkan kemampuannya, seperti besar gaji, status pegawai, riwayat peminjaman. Jika seseorang layak untuk di berikan pinjaman karena memenuhi syarat (seperti jumlah gaji, riwayat peminjaman dll) maka pinjaman mereka di sebut sebagai “prime mortgage”, sebaliknya orang yang tidak memenuhi syarat di sebut sebagai “subprime mortgage”.

Secara sekilas pemberian kredit subprime akan mempermudah pihak peminjam, karena syarat pengajuan kredit tidak rumit. Hal ini juga terjadi di Indonesia juga lho, contoh nyata adalah pemberian kredit kepemilikan motor yang syaratnya semakin mudah cukup bawa KTP, bayar uang muka yang tidak terlalu besar, motor bisa langsung di bawa. Syarat kredit seperti ini cukup menggiurkan, tapi juga beresiko. Seorang yang ingin memiliki motor untuk dijadikan Ojek banyak juga yang melakukan hal ini, mengambil kredit motor dengan syarat yang mudah, tapi pada akhirnya harus rela motornya di tarik kembali oleh Dealer Motor karena tidak sanggup membayar cicilan. Lebih-lebih persaingan dalam dunia Ojek di Indonesia semakin ketat, kita bisa lihat hampir di setiap gang atau persimpangan jalan semakin banyak di temukan tukang ojek.

Contoh yang lain adalah semakin mudahnya pembuatan kartur kredit, cukup foto kopi KTP, slip gaji yang di rekayasa, maka kartu kreditpun sudah jadi. Ketika sudah jatuh tempo barulah bingung untuk membayarnya, lebih-lebih setiap keterlambatan akan mengakibatkan beban bunga yang ditanggung semakin besar. Jika tidak sanggup membayar, maka siap-siaplah para preman akan menyatroni rumah untuk menagih hutang.

Apakah para pemberi kredit itu tidak tahu resiko memberikan kredit kepada peminjam yang kemampuan finansialnya tidak terlalu baik? Pastinya tahu, hanya saja di balik resiko yang cukup besar ini, ada kemungkinan keuntungan yang menggiurkan dari bunga yang tinggi. Begitupula yang terjadi dengan kasus “Subprime Mortgage” di AS, dimana perusahaan pembiayaan memberikan kemudahan pemberian kredit, terutama dalam pembiayaan perumahan, termasuk kepada mereka-mereka yang kurang layak untuk mendapatkan kredit. Banyak orang-orang yang mengambil kredit perumahan ini tidak tahu apa isi perjanjian yang mereka tanda-tangani, termasuk biaya tersembunyi (hidden cost) yang harus mereka bayar. Akibatnya bisa di prediksi, ketika orang yang mengambil kredit tidak lagi sanggup membayar, maka terjadilah gagal bayar atau kalo dalam istilah finansial sering di sebut sebagai default.

Ketika mayoritas para pengambil kredit tidak sanggup membayar (default), hal ini berdampak pada lembaga pembiayaan termasuk juga lembaga investasi yang menginvestasikan uang di sector pembiayaan perumahan. Kini kecerobohan bankir dalam memberikan kreditnya mulai terlihat, begitu pula dengan pengelola investasi yang mengejar keuntungan yang besar tanpa memedulikan resiko yang juga besar harus menerima kenyataan dari pecahnya pasar kredit perumahaan di AS.

Kekacauan yang ditimbulkan akibat ketidakhati-hatian dan keserakahan pelaku finansial kini harus ditanggung oleh masyarakat luas. Macetnya kredit mengakibatkan perusahaan tidak dapat melanjutkan usahanya karena ketiadaan modal, dan menumpuknya hutang, akibatnya banyak perusahaan di sektor finansial yang sudah atau terancam bangkrut. Akibatnya bisa di perkirakan, akan banyak penghapusan jabatan yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran di AS. Di tengah ekonomi yang semakin lesu akibat meningkatnya harga komoditi seperti harga Minyak Bumi yang semakin mahal, ancaman PHK yang cukup besar, akan memperparah kondisi perekonomian.

Dampak krisis ekonomi yang dialami oleh AS mau tidak mau pasti berdampak pada negara lain. Negara yang ekonominya cukup kuat seperti Jepang pun harus terkena imbas, apalagi Indonesia, terlebih AS adalah pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia setelah Jepang. Dengan krisis ekonomi yang terjadi di AS maka mau tidak mau akan menyebabkan penurunan konsumsi, yang juga otomatis berdampak pada penurunan ekspor Indonesia ke AS, yang tidak menutup kemungkinan akan menambah jumlah pengangguran di Indonesia karena perusahaan-perusahaan yang mengekspor harus mem-PHK karyawannya karean barang yang mereka produksi tidak laku di jual ke AS, akibat di AS terkena krisis ekonomi.

AS dan para pelaku usaha di negeri mereka menganut sistem pasar bebas, jadi intervensi pemerintah terhadap pasar sangat minim atau bahkan tidak ada. Mereka beranggapan bahwa pasar memiliki mekanisme tersendiri. Nyatanya pasar bergerak liar, berbagai resiko dalam berinvestasi sepertinya tidak dihiraukan, semua demi mengejar keuntungan yang besar walaupun mereka tahu resikonya cukup besar. Kita pasar ternyata tidak memiliki mekanisme kontrol terhadap diri sendiri yang berujung pada krisis, ketidakkonsistenan malah terjadi. Ketika pasar sedang bergairah, para pelaku ekonomi ingin pasar yang bebas dari intervensi pemerintah, ketika ternyata mereka membuat kesalahan yang berujung pada kerugian dan kebangkrutan, para pelaku seolah-olah mengemis pemerintah untuk mengintervensi pasar dengan menyuntikan dana, yang kemungkinan besar akan diambilkan dari uang para pembayar pajak. Aneh, kalo untung aja tidak mau diatur, giliran rugi minta di talangin... licik sekali cara para pelaku ekonomi itu... Memang sih... sektor finansial merupakan sektor yang penting, jika suatu perusahaan "umum" bangkrut dampaknya standar, tapi kalo yang bangkrut perusahaan di sektor finansial seperti bank, lebih-lebih bank nasional, pasti sebisa mungkin akan coba di selamatkan, karena terlalu besar resikonya kalo suatu bank bangkrut, bisa-bisa tidak ada yang bisa menyalurkan kredit yang bisa berdampak pada kelesuan ekonomi

Beginilah nasib dunia jika menggunakan sistem yang mementingkan keuntungan semata, ketika terjadi krisis maka rakyatlah yang menjadi korbannya. Pemerintah AS kabarnya harus meminta persetujuan konggres untuk dapat mengucurkan uang (bailout) sebanyak 700 miliar USD untuk menyuntik membantu perusahaan yang bermasalah. Uang sebanyak itu akan diambil dari dana masyarakat yang dikumpulkan dari para pembayar pajak. Nasib memang, orang lain yang serakah ceroboh (atau bodoh?), tapi ketika terjadi krisis para pembayar pajaklah yang harus menanggung beban ini. Sungguh sistem yang tidak adil! Para manajer dengan gaji yang sangat besar, begitupula dengan bonus yang sangat besar termasuk fasilitas mewah yang didapat ternyata hasil kerjanya malah menghancukan ekonomi negara, masyarakat biasa yang pas-pasan yang harus menanggung dampaknya. Lebih-lebih ketika para manajer itu di pecat, merekapun masih dapat pesangon yang sangat besar (golden parachute) padahal kinerja mereka sangat buruk. Yah lumayanlah dengan prestasi menghancurkan perusahaan yang berdampak pada kehancuran ekonomi negara dan dunia masih di beri bonus, padahal pegawai biasa dan rendahan yang dianggap tidak “perform” harus terima di pecat tanpa pesangon.

Hal seperti inilah yang terjadi di Indonesia pada kasus pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang niatnya mulia, untuk menolong kondisi bank yang sekarat akibat kebobrokan manajemen, tapi yang terjadi uang itu tidak digunakan sebagaimana mestinya, uang yang sangat besar itu dibawa lari oleh para pemilik bank, selain itu jaminan asset yang jaminkan ternyata nilainya sudah di “mark up”. Apakah pemerintah AS tidak belajar dari kasus BLBI di Indonesia? Semoga hal yang niatnya baik tidak berakhir menjadi sesuatu yang buruk. Dunia sedang menanti...