Keripik Bawang

 Wednesday, January 26, 2005

Sebenarnya sudah 1 bulan yang lalu buat keripik bawang ini, hanya saja karena males maka baru hari ini bisa di tampilkan :)

Berikut ini adalah resep asli dari buku.

Bahan:
250 gram Tepung Terigu
1 sendok makan Margarin
1 butir Telur Ayam (di kocok)
100 cc Air (Putih)
1/2 bungkus Bumbu Masak
1 sendok teh Garam
4 siung Bawang Putih (di haluskan)

Cara Membuat:
1. Remas semua bahan dan bumbunya jadi satu
2. Setelah adonan raat, gilas sampai tipis, potong-potong kecil persegi dan lipat
3. Gorenglah dalam minyak yang panas

Dipikir-pikir kalo bikinnya cuma 250 gram, hasilnya bakal dikit, paling gak sampe sehari pasti abis dimakan dan rugi di waktu. Akhirnya coba modif resep yang ditas jadi 8 kalinya :) berarti terigunya jadi 2 kg. Lebih lengkapnya resep yang gue pake adalah sebagai berikut (asli ngasal... gak semua komposisi bahan dikali 8 hehehe):

2 kg Tepung Terigu
1 bungkus Margarin (200 gr)
5 butir Telur Ayam
Air putih sesukanya :)
3 bungkus Bumbu Masak
Garam sesuai selera
1 Bonggol Bawang Putih
Beberapa siung Bawang Merah
1 sendok teh Lada Hitam Halus (itu juga dapet sisa :p)


Bahan Pembuat Keripik Bawang

Pertama-tama kita siapkan tepung terigu kedalam suatu wadah, misalnya baskom. Kemudian taburkan semua Bumbu Masak kedalam tepung terigu seperti terlihat pada gambar berikut

Campur Bumbu Masak dengan Tepung Terigu

Tambahkan juga garam secukupnya

Tambahkan Garam

Masukan semua telur kedalam suatu wadah, kemudian kocok hingga merata. Setelah semua dikocok, masukkan hasil kocokan kedalam adonan.

Tambah Telur yang sudah di kocok

Bawang Putih (dan Bawang Merah) di haluskan (bisa dengan ulekan atau mesin blender. Bawang yang sudah halus tersebut kita masukkan kedalam adonan.

Tambah Bawang yang sudah dihaluskan

Jika suka, tidak ada salahnya menambahkan lada hitam, ya ini sebagai pemanis saja. Karena nantinya di dalam keripik akan ada warna hitam-hitam dari lada hitam ini... ya intinya sih biar lebih seru dan sukur-sukur rasanya lebih baik :)

Tambahkan lada hitam (jika suka)

Tambahkan margarin agar adonan terasa lebih empuk, gurih dan tentunya lebih harum (setidaknya bau margarin lebih enak dari tepung terigu).

Tambahkan Maragrin

Tambahkan air putih secukupnya. Jika air yang dimasukkan terlalu sedikit, maka adonan akan sulit untuk menyatu, tapi jika air terlalu banyak maka adonan bisa elastis (melar) seperti karet dan sulit untuk di bentuk karena lengket-lengket.
Oh iya harus diperhatikan juga, sebaiknya pemberian air dilakukan setelah semua adonan dimasukkan, karena bahan seperti telur dan margarin dapat merekatkan adonan seperti air, oleh karena itu gue gak pernah mematok berapa cc air yang harus di campurkan. Jika adonan telah menjadi kalis, maka kita tidak perlu menambah air seperti di resep.

Tambahkan Air Putih

Jika semua bahan telah dimasukkan, maka saatnya kita mengaduk bahan-bahan diatas menjadi adonan untuk keripik bawang

Aduk bahan-bahan menjadi satu

Jika adonan sudah menjadi kalis maka akan tampak seperti berikut

Adonan Keripik Bawang yang sudah kalis

Setelah beres membuat adonan, ada pekerjaan lain yang lumayan membuat lelah yaitu Menggiling adonan agar tipis sesuai selera kita. Sebaiknya untuk membuat ini di sarankan memiliki "gilingan mie" (gue gak tau nama tepatnya). Cuma alat ini memang sangat berguna sekali untuk mengatur ketebalan keripik yang kita inginkan. Untuk membuat adonan setipis yang kita inginkan pun harus lebih bersabar, karena kita harus menggilingnya pada ketebalan yang paling tebal, setelah itu jadi maka kita bisa tipiskan, dan jika ingin ditipiskan lagi kita harus giling ulang dengan menge-set ketebalan sesuai dengan yang kita inginkan. Intinya harus bersabar (apa lagi gue bikinnya 2 kg terigu tea..., ripuh)

Giling adonan hingga setipis yang kita inginkan

Jika adonan sudah tipis, maka kita bisa membentuk ukurannya sesuai selera. Biasanya di gilingan mie kita bisa memanfaatkan gilingan yang ada untuk memotong adonan seperti mie. Sengaja gak dibikin panjang-panjang makanya hasil potongannya dapat dilihat seperti gambar di bawah ini. Oh iya cara ini juga yang "lebih praktis" ketimbang kita memotong-motong sendiri.

Bentuk Stick

Atau jika kita memiliki selera yang lain, tak ada salahnya juga membuat dalam bentuk lembaran-lembaran seperti tampak pada gambar dibawah. Untuk melakukannya kita tidak harus menggunakan alat seperti yang terlihat di gambar berikut, tapi bisa juga menggunakan pisau dapur... yang penting jangan terlalu keras waktu membuatnya... ntar bisa sompal lagi mejanya :)

Bentuk Lembaran

Kalau langkah diatas sudah dilakukan, maka langkah selanjutnya yang tidak kalah bikin males adalah menggorengnya! untung adik gue mau ngebantuin ngegoreng... kalo gak bisa gempor ngerjain ini. Kalo bisa apinya jangan terlalu besar, sedang-sedang saja. Api yang terlalu besar akan membuat lembaran keripik menjadi bergelembung-gelembung dan pastinya didalamnya akan ada banyak minyak goreng yang terperangkap... dan itu bikin makan keripiknya jadi kurang asik (menurut gue...)

Goreng Lembaran ataupun Stick yang sudah dibuat

Setelah digoreng dengan api sedang, tunggu agar gorengan tampak berwarna kuning ke coklatan. Setelah gorengan berwarna kuning ke coklatan, itu berarti bahwa gorengan siap diangkat ditiriskan dan siap di konsumsi. Oh iya tingkat kecoklatan itu tergantung selera masing-masing sih... cuma kalo warna gorengan itu seringkali akan berubah menjadi lebih kecoklatan setelah di tiriskan. Tapi, selama gak gosong ya masih layak di konsumsi kok... :)

Tiriskan hasil gorengan

Jika gorengan sudah ditiriskan, berarti gorengan telah menjadi keripik bawang yang siap untuk di konsumsi dan juga di simpan. Berhubung terlalu asik makan sampe lupa deh gue memfoto keripik-keripik ini yang udah di masukin ke toples :). Lumayan banyak juga sih, setidaknya bahan-bahan yang gue pake menghasilkan hampir 1 kotak yang gede.

Catatan:
Awalnya gue berharap banyak bahwa rasanya akan sesuai dengan target... ternyata eksperimen kali ini rasanya tidak benar-benar mencapai target yaitu mendapatkan keripik bawang yang benar-benar berasa bawang :). Awalnya agak kecewa, kemana nih rasa bawangnya? Akhirnya gue hanya bisa merenungi ke sok-improve-an gue yang menambah bahan dasar tanpa mengalikan jumlah bahan-bahan yang lain sesuai komposisi. Awalnya terigu itu cuma 1/4 kg (250 gr) dan gue bikin jadi 2 kg dan itu berarti bertambah sekitar 8 kali dan artinya yang lainnya juga harus dikali 8. Tapi gue cuma pake telor 5 butir (harusnya 8), bawang cuma 1 bonggol yang jumlahnya tidak sampai 32 siung dan ini adalah faktor paling mendasar kenapa keripik gue kurang "kerasa" rasa bawangnya.

Selain itu gue terlalu malas untuk menakar banyaknya margarin yang seharusnya hanya 8 sendok makan, tapi gue bikin 1 bungkus (200 gr) margarin. Alhasil rasa bawangnya "tenggelam" oleh rasa mentega yang kayaknya kebanyakan ini. Telur dan Margarin kalo menurut pengalaman gue bisa bikin adonan terasa lebih empuk, halus, dan renyah... hanya saja kali ini sepertinya jumlah margarinnya terlalu banyak... Tapi beruntunglah margarin itu rasanya lumayan gurih... jadi meskipun begitu hasil dari eksperimen kali ini menghasilkan keripik yang memiliki tekstur yang lembut dan renyah khas margarin, ya setidaknya tidak terlalu buruk lah...

Gue sih ngerasa eksperimen kali ini rada gagal, karena tujuan menciptakan keripik bawang tidak tercapai karena rasa yang dominan malah rasa margarin :). Kalo bikin keripik margarin sih gue sih udah biasa bikin dari jaman SD mengisi libur sekolah yang panjang. Dulu kalo bikin keripik ini sengsara deh, soalnya gak punya gilingan mie, jadi gue ngegilingnya pake bekas botol sirup.

Kalo tau rasanya jadi rasa mentega... sekalian aja buat apa gue campur bawang dan telur :-|, buang-buang duit aje :) Tapi kalo gak di coba mana kita bisa tau kan? ;)
Oh iya gue juga ngerasa cara mengaduk gue agak salah... kayaknya sih semua bumbu seperti garam, Bumbu Masak, Bawang yang sudah di haluskan itu di campur dulu dengan telur yang sudah di kocok dengan air, nah kalo sudah baru di campur ke dalam terigu. Gue menduga kalo cara ini dilakukan rasanya tentunya akan lebih merata ketimbang cara diatas, dan bener juga sih... kalo gue "beruntung" gue emang bisa ngerasin keripik bawang yang bener-bener rasa bawang, kalo lagi "sial" ya rasanya lebih dominan rasa mentega :)

Kesimpulan kali ini:
- Perhatikan komposisi bahan, jika ada bahan yang ditambah, maka bahan yang lainnya juga harus ditambah.
- Kalo mau buat keripik bawang, jangan tanggung-tanggung buat nambahin bawangnya, kalo gak ya kayak punya gue ini :).
- Jangan terlalu agresif menambahkan mentega, secukupnya aja... bahkan kalo mau empuk yang bagus sebaiknya di banyakin telurnya aja... tapi namanya juga keripik, kalo terlalu lembut malah tidak jadi keripik kan :p.
- Penggunaan lada hitam menambah menarik bentuk keripik, disamping membuat kaya rasa. Sayangnya gue makenya dikit... abis cuma segitu-gitunya sih yang tersedia di dapur.
- Proses pembuatan relatif sederhana, cuma bikin cape waktu ngegiling, dan memakan waktu pada saat penggorengan tapi secara keseluruhan prosesnya relatif sederhana sih
- Last but not Least! Gue harus coba lagi bikin keripik bawang dengan porsi bawang yang lebih banyak! :->

Kuda yang Hilang

 Tuesday, January 25, 2005

Dikutip dari buku "Kisah-kisah kebijaksanaan China Klasik" yang disusun oleh Michael C. Tang, terbitan Gramedia cetakan ke-2, Oktober 2004. Halaman 318.

Seorang pria tinggal dengan ayahnya di bagian utara China. Suatu hari kudanya melarikan diri ke tempat para nomaden di sebrang perbatasan. Para tetangganya datang untuk menyatakan rasa simpati.
"Bagaimana kalian mengetahui bahwa ini bukan suatu berkah?" kata ayahnya.
"Beberapa bulan kemudian, kudanya kembali dengan membawa seekor kuda nomaden yang sangat bagus. Teman-teman dan tetangga datang untuk mengaggumi kuda itu dan memberinya selamat.
"Apa yang membuat kalian berfikir bahwa ini bukan bencana?" tanya ayahnya.
Anaknya sangat menginginkan kuda itu. Beberapa hari kemudian, kakinya patah ketika sedang mengendarainya. Setiap orang datang untuk menyatakan rasa prihatin.
"Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah sesuatu yang buruk?" tanya ayahnya lagi.
Sebulan kemudian, para nomaden menduduki China, dan setiap orang pria yang sehat diwajibkan untuk berperang. China kehilangan sembilan dari setiap sepuluh pria yang dikirim dalam konflik di perbatasan. Anak petani itu tidak ikut berperang karena kondisi kakinya.

Komentar Buku: Keberuntungan dapat menjadi bencana, dan bencana dapat berubah menjadi keberuntungan. Ini adalah sebuah cerita klasik yang berintikan sifat yang tidak terprediksi dan pola siklus perubahan dalam kehidupan.

Komentar Gue: Gue suka dengan cerita klasik asal China ini, bagi gue cerita ini seperti mengingatkan bahwa sesungguhnya keberuntungan dan musibah datang silih berganti, disamping itu cerita diatas bagi gue seperti menceritakan bahwa definisi keberuntungan ataupun musibah itu relatif, tergantung cara pandang masing-masing. Takdir setiap manusia pasti berbeda-beda, ada yang terlihat baik ada yang terlihat tidak baik. Ikhlas dan bersyukur dengan takdir yang telah ditentukan-Nya sepertinya adalah hal yang terbaik yang bisa dilakukan disamping berusaha yang terbaik. Semua itu tergantung cara pandang... ya itu lah yang harus gue latih saat ini.., mengubah cara pandang (yang positif tentunya :p).

Gue punya cerita, ada seorang pria yang lulus sebagai sarjana, pada saat itu jumlah sarjana tidak banyak, sehingga lebih mudah bagi dia untuk memilih pekerjaan. Kebetulan orang itu bisa berkuliah karena mendapat beasiswa dari negara, oleh karenanya setelah lulus, dia harus menjalani ikatan dinas dengan negara yang memberinya beasiswa. Banyak dari kawan-kawannya yang di beri beasiswa oleh negara tidak mau menjalankan ikatan dinas, mereka lebih memilih "kabur" dari ikatan dinas dan bekerja di perusahaan swasta yang mampu memberikan mereka gaji yang besar. Tapi orang itu tetap bertahan menjalankan dinasnya, bahkan akhirnya meneruskan pekerjaan itu sebagai pekerjaan utamanya.

Karena bekerja sebagai pegawai pemerintahan yang jujur, tidak banyak harta yang dimiliki. Berbeda dengan sebagian teman-temannya, mereka hidup lebih kaya. Tahun berganti tahun, dan pada suatu waktu orang itu bertemu dengan teman-teman lamanya, ada dari beberapa diantaranya yang tidak hadir. Saat hal itu ditanyakan, akhirnya diketahui bahwa temannya yang tidak hadir itu sedang sakit akibat pola makan yang salah. Pria itu cukup berduka dengan keadaan temannya itu, tetapi di saat yang sama dia juga bersyukur, meski kekayaannya tidak banyak tapi ternyata dia masih sehat, sedangkan teman yang sakit itu karena banyak memiliki uang. Karena kaya, teman pria itu lebih mudah memenuhi segala keinginannya, salah satunya keinginan untuk makan yang enak-enak itu, ternyata di usia yang belum terlalu tua, teman pria itu harus menderita akibatnya. Pria ini berfikir seandainya dia kaya seperti temannya, mungkin dia juga akan menderita penyakit yang sama, karena dia sebenarnya juga suka makan yang enak-enak, hanya saja karena tidak ada uang lebih yang bisa digunakan untuk membeli makanan yang enak-enak dia jarang memiliki kesempatan untuk memakan itu, sehingga penyakit itu tidak sempat datang pada dirinya. Beruntung atau tidak pria itu, tergantung darimana kita memandangnya bukan? :)

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita dihadapkan pada generalisasi. Orang menganggap berwajah tampan atau cantik itu menarik, dalam banyak kasus mungkin memang benar. Orang yang berwajah cantik bisa dengan lebih mudah mendapatkan kemudahan ketimbang yang memiliki wajah biasa-biasa saja. Wanita yang memiliki wajah cantik memiliki lebih banyak pilihan Pria ketimbang yang wajahnya biasa-biasa, dan tentunya sebagian wanita cantik akan lebih memilih Pria yang tampan dan kaya untuk menjadi pasangannya (asli menurut gue... gak punya data statistik sih... :p), begitupula dengan laki-laki. Tapi dalam kondisi tertentu bisa jadi wajah yang tampan atau cantik bisa jadi bencana, orang berwajah cantik lebih mudah menjadi orang yang sombong ketimbang orang yang berwajah jelek. Orang cantik bisa sombong karena memiliki kecantikan, orang yang jelek lebih susah untuk sombong (dan setidaknya berfikir berkali-kali) kalau ingin menyombongkan tampangnya. Memiliki sifat sombong, tentu saja lebih memudahkan bagi orang itu untuk memandang rendah orang lain... Dalam situasi yang lainnya, orang yang cantik bisa jadi sasaran orang yang memilki niat jahat. Karena kecantikannya boleh jadi dia jadi sasaran utama sebuah pelecehan atau penodaan harga diri oleh orang jahat akibat melihat kecantikannya (ya... siapa tau?)

Suatu bencana alam (misal meletusnya gunung) secara umum bisa dianggap sebagai suatu musibah, karena banyak orang-orang yang harus terbunuh, banyak harta yang akan hilang, dan hal-hal lainnya. Tapi dilihat dari sisi yang lain ternyata dengan meletusnya gunung telah membawa berkah bagi wilayah itu, tanah menjadi lebih subur setelah gunung meletus, para penduduk dapat memanfaatkan tanah yang subur untuk bercocok tanam, penduduk juga dapat memanfaatkan pasir-pasirnya untuk dijual sebagai bahan bangunan, para pematung dapat memanfaatkan batu-batu yang telempar saat gunung meletus untuk dijadikan bahan pembuat patung, dll. Jika melihat dari sisi yang lain, hal yang dianggap bencana bisa jadi malah suatu anugrah. Semoga bencana tsunami yang melanda di kawasan asia, banjir di diberbagai daerah baru-baru ini tidak semata-mata murni suatu musibah, boleh jadi Sang Pencipta memiliki sesuatu yang lebih baik bagi kawasan yang terkena musibah itu... siapa tahu...?

Tapi gue sepertinya mulai meyakini bahwa suatu keberuntungan atau musibah semuanya tergantung dari cara kita memandang dan semuanya datang silih berganti layaknya roda yang berputar... :)

Efek Berhaji

 Wednesday, January 19, 2005

Recananya hari jum'at 21 Januari 2005 nanti, Umat Islam di Indonesia akan merayakan hari raya Iedul Adha atau biasa di sebut juga lebaran haji ataupun hari raya kurban. Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang ke-5 berarti ibadah haji itu wajib hukumnya dilaksanakan meski dengan catatan "jika mampu". Definisi "jika mampu" ini sejauh pengetahuan gue adalah jika mampu secara materi (mampu membiayai ongkos berhaji) dan mampu secara fisik (badan cukup sehat untuk melaksanakan haji?).

Nah gue gak tau kalo mampu secara batin itu masuk syarat gak sih? Konyol memang pertanyaannya... tapi kalo misalnya gue secara materi sudah mampu dan secara fisik cukup sehat untuk berhaji tapi batin merasa belum siap itu gimana ya? apakah dibenarkan tidak melaksanakan ibadah haji jika alasannya batin/hati belum siap untuk menjalankan ini... tapi kayaknya mungkin gak boleh kali ya kalo beralasan seperti itu agar tidak naik haji...?

Meskipun ibadah haji itu wajib bagi setiap muslim, kenyataannya banyak juga lho yang belum tergerak hatinya untuk berhaji (aduh gue juga sebenernya belum merasa tergerak juga sih... disamping memang belum mampu secara materi untuk berhaji). Gue baru tau setelah baca sekilas biografi Sri Sultan Hamengkubuwono X (HBX), di situ dia di katakan penerus dinasti mataram pertama yang cukup unik, karena...
1. HBX sebagai penerus dinasti Mataram pertama yang dinobatkan setelah Indonesia merdeka (Hamengkubuwono IX dinobatkan sekitar tahun 1940-an, Pakubuwono XII tahun 1945 sebelum bulan agustus)
2. HBX merupakan sultan yang pertama memulai hanya memiliki satu permaisuri dan tidak memiliki selir (cuma 1 istri saja), sedangkan leluhurnya bisa memiliki satu atau tidak punya sama sekali permaisuri tapi memiliki banyak selir (banyak istri).
3. HBX adalah adalah (konon satu-satunya) penerus dinasti Mataram (atau setidaknya dinasti Ngayogyakarta) yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dan lain-lain... (gak inget lagi... hehehe)

Wah agak aneh juga kalo baca ini, ternyata baru semenjak Hamengkubuwono X para penerus dinasti Mataram yang melaksanakan ibadah haji, padahal Mataram mengaku bahwa dia adalah kerajaan Islam. Salah satu fakta yang menunjukan bahwa Mataram adalah kerajaan yang beragama islam dapat dilihat dari gelar raja-rajanya. Untuk Kasultanan Yogyakarta raja mereka menggunakan gelar seperti: Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX (itu gelar untuk HBIX). Didalam gelarnya terdapat kata-kata Abdurahman yang berarti hamba dari Sang Pemberi Rahmat (Allah SWT), Panoto Gomo itu kira-kira sama dengan Penata Agama (Islam), ditambah lagi kata Kalifatullah aritnya ya semacam Kalifah atau pemimpin atau perwakilan Allah? di muka bumi (baca: tanah Ngayogyakarta). Jadi jelas dari gelarnya terlihat bahwa raja Yogya adalah seorang pemimpin Islam, dan untuk raja Solo, mereka biasa menyebut kerajaannya dengan Kasunanan Surakarta, gue menduga kata kasunanan ini ada hubungannya dengan Wali Songo yang sering menggunakan gelar Sunan.

Jelas bahwa memang kerajaan Mataram (Baru) adalah kerajaan islam, tapi sangat disayangkan mengapa para raja-rajanya banyak yang belum pernah melaksanakan rukun islam yang ke-5, apakah mereka mendirikan kerajaan dengan membawa-bawa nama islam hanya sekedar untuk keuntungan pribadi mereka sendiri? Wallahualam, tapi bagaimanapun memang pengaruh islam sedikit-dikit memang ada, salah satunya adalah kalender jawa di sesuaikan menjadi sama dengan kalender islam yang menggunakan perhitungan pergerakan bulan, kalender sebelumnya berdasarkan pergerakan matahari.

Kalo boleh berspekulasi, kemungkinan memang para raja tidak melaksanakan ibadah haji adalah karena situasi yang "tidak memungkinkan". Para raja jaman dulu jangan dibayangkan dengan jadi presiden jaman akhir-akhir ini. Jaman dulu setiap raja punya banyak musuh, musuhnya tidak hanya dari orang-orang luar dari keraton, seringkali para Adipati, Tumenggung, bahkan saudara-saudaranya sendiri menjadi musuh. Harap maklum yang boleh menjadi raja hanya satu orang, sedang yang menginginkan posisi itu banyak sekali, para raja jaman dulu memang umumnya memiliki anak yang sangat banyak sehingga tak heran kalo sesama saudara (biasanya beda ibu) yang saling bermusuhan.

Bahkan dijaman dulu, setiap putra mahkota (pangeran adipati anom) akan dinobatkan menjadi raja, biasanya para tetua mengumumkannya dengan nada tantangan, kata-kata yang biasanya di ucapkan kalo dalam bahasa indonesia kira-kira "Saksikanlah wahai semua warga, bahwa kini putra mahkota akan dijadikan raja menggantikan ayahnya, jika tidak ada yang setuju/tidak terima ayo lawan aku", pada awal-awalnya memang setiap raja baru pasti akan diajak uji kekuatan untuk membuktikan bahwa dia memang layak menjadi raja. Tak heran pula kalo tidak sedikit dari anak-anak raja yang menginginkan menjadi raja meminta bantuan pihak asing (VOC atau Kompeni) untuk adu fisik memperebutkan posisi raja. Saat ini sepertinya sudah tidak ada budaya seperti itu, tapi ironisnya di Kasunanan Surakarta saat ini masih terjadi perebutan posisi raja, memang tidak dengan cara fisik seperti dulu.

Nah kalo melihat banyaknya musuh raja, maka wajar jika raja umumnya lebih memperhatikan kekuasaannya, dan pada akhirnya mereka tidak akan sempat berfikir untuk melaksanakan ibadah haji. Mungkin para raja itu berfikir, jangan-jangan saat dia berangkat haji, akan terjadi kudeta terhadap dirinya. Padahal kalo dilihat secara materi, seorang raja tentu saja dapat membiayai dirinya ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Kudeta... tentu saja tidak seorangpun yang ingin dikudeta, tak heran jika raja lebih memilih tetap berada di wilayahnya ketimbang pergi ke daerah lain. Btw ini adalah dugaan pribadi dari gue lho... bukan kata siapa-siapa :)

Gue juga mengamati, kalo kondisi seperti itu juga ternyata dialami di zaman setelah kemerdekaan. Ada yang ingat kapan mantan presiden Soeharto berangkat haji, jika gue gak salah inget ibadah itu baru dilaksanakan sekitar tahun 90-an. Gue mau menduga dengan prasangka yang buruk nih, bayangkan dari tahun 1966 sampai 1990 dia berkuasa apa dia tidak ada biaya untuk berhaji? Soal biaya pastinya bukan masalah bagi mantan presiden itu untuk melaksanakan ibadah haji. Gue menduga... mungkin selama rentang waktu dia tidak melaksanakan ibadah haji dikarenakan dia harus menjaga posisinya, karena kalo baca buku-buku yang beredar setelah dia mengundurkan diri, tampak bahwa Soeharto itu memang memiliki banyak musuh, baik dari para politisi ataupun dari kalangan tentara. Mungkin baru tahun 90-an itu dia baru merasa posisinya bisa aman untuk pergi beribadah haji, atau jika kita berprasangka baik bisa saja memang baru tahun 90-an Soeharto terbuka hatinya untuk melaksanakan ibadah haji.

Konon saat mantan presiden itu sakit dia lebih memilih dirawat di Rumah Sakit Pertamina ketimbang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto... kalo kata orang mungkin dia lebih percaya dengan pelayanan di RS Pertamina yang notabene didirikan oleh sahabat karibnya Ibnu Sutowo, dirut pertama Pertamina, ketimbang rumah sakit RSPAD yang notabene dikuasai oleh perwira yang mungkin saja musuhnya-musuhnya atau perwira yang pernah disakiti hatinya... sekali lagi itu hanya dugaan orang-orang lho, bukan gue :)

Meski mantan presiden kita sudah berhaji dan akhirnya menambahkan nama Mohammad, kok sepertinya Indonesia tidak lebih baik. Tidak sedikit para pejabat-pejabat pemerintah Indonesia yang sudah melaksanakan haji, tapi kenapa aib para pejabat itu kok tidak hilang malah cendrung semakin bertambah banyak dan makin menggila. Ahhhh gue takutnya para pejabat itu ibadah haji yang telah dilaksanakannya tidak menjadikan mereka haji yang mabrur, jangan jangan -seperti kata orang-orang- mereka malah menjadi haji kabur.

Kalo ngelihat negri yang kaya ini tetep miskin, gue kok ngeliat kayaknya ada yang salah dengan para pengelolanya. Padahal kebanyakan mereka (pejabat negara) udah pada melaksanakan ibadah haji gitu lho... masak sih masih doyan dengan hal-hal negatif yang dilarang agama, atau emang ibadah haji itu gak ngaruh untuk merubah mental orang? Semoga kata yang terakhir tidak terbukti...

Setiap tahun selalu ada orang yang pergi berangkat haji, bahkan sampai dibatasi oleh kuota akibat terlalu banyak, logikanya akan semakin banyak orang-orang di Indonesia yang bergelar haji... Jika sebagian besar orang yang pulang menjadi haji mabrur, seharusnya mereka mereka akan menjadi teladan bagi orang-orang disekitarnya dan pada akhirnya akan meningkatkan moralitas diantara anggota keluarganya, dan jika itu meluas, maka bangsa ini semakin meluas orang-orang yang memiliki moralitas yang baik.

Gue khawatir orang-orang yang naik haji itu niatnya tidak lurus, tidak mengharap ridho Allah. Bukan tidak ada lho..., orang yang setelah pulang dari haji akan marah jika tidak ada orang lain yang memanggil dirinya dengan sebutan pak haji atau bu hajjah. Sepertinya memang ada orang yang lebih peduli dengan sebutan pak haji atau bu hajjah ketimbang konsekuensi setelah pulang dari haji, peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah, ataupun sekedar memberi teladan (duh gue makin gak siap nih untuk naik haji...).

Entah kebetulan atau memang terjadi di dunia nyata, Pak Haji menjadi bahan olok-olok dalam suatu lelucon. Ada yang pernah mendengar lelucon ini?

"Pak haji-pak haji anak pak haji lagi main judi!" kata seseorang
"Astagfirullah!" jawab pak haji...
"Tapi anak pak haji menang judi" kata seseorang
"Alhamdulillah..." jawab pak haji...

Lelucon yang merendahkan seseorang yang pernah beribadah haji. Gue gak yakin orang-orang berani buat lelucon seperti itu jika tidak ada pak haji yang berlaku seperti itu (IMHO), mungkin memang ada dalam dunia nyata dimana para haji yang berperilaku seperti itu.... Gue sampe sekarang gak pernah denger lelucon yang membahas kejelekan Nabi Muhammad oleh para umat-nya sendiri (orang islam), gue yakin karena orang-orang islam memang memandang Nabi Muhammad adalah orang yang benar. Beda dengan haji yang dilaksanakan oleh manusia yang memiliki banyak kelemahannya sehingga kelemahan itu seringkali di ekspolitasi menjadi sebuah ejekan atau sindiran dalam sebuah lelucon, lelucon atau sindiran yang merendahkan orang-orang yang pernah berhaji...

Sungguh berat memang ibadah ini, sebelum berangkat saja sudah harus berkorban harta yang tidak sedikit (katanya ONH itu bisa lebih dari 25 juta?), setelah berangkat, fisik harus menghadapi hawa panas, berdesak-desakan dengan jemaah yang lain, resiko terinjak-injak, terkena lemparan batu jumroh, dll. Dan setelah pulang orang akan mengamati perubahan sikap, apakah bertambah lebih baik atau tidak setelah menjalankan ibadah haji... Waduh berat... kalo kata orang-orang mempertahankan adalah lebih sulit ketimbang meraihnya. Mungkin juga bisa dikatakan... lebih sulit menjaga sikap kita setelah berhaji ketimbang perg berhaji itu sendiri.

Orang yang telah melaksanakan ibadah haji, seringkali tingkah laku mereka dan orang-orang terdekatnya diamati oleh masyarakat umum. Masyarakan menganggap orang yang sudap melaksanakan haji dianggap orang yang lebih baik lebih dan mampu memberi teladan bagi yang ada disekitarnya. Maka ketika seorang yang telah berhaji ataupun orang terdekatnya memiliki perilaku yang tidak terpuji, masyarakat cendrung "mempertanyakan" kehajian mereka. Misal, ada seorang anak yang bapak dan ibunyanya sudah berhaji, tapi anak ini mengkonsumsi narokba, mabuk-mabukan dan segala kejelekan lainnya, maka secara tidak sadar orang-orang akan mencibir "Anak haji kok kayak gini sih?", sepertinya memang harapan masyarakat terhadap orang yang telah berhaji cukup besar. Bagaimanapun seperti kata group Seurieus: Rocker juga manusia, begitupula dengan pak Haji dan Bu Haji juga manusia... punya kelebihan juga kekurangan...

Semoga para jemaah haji Indonesia yang sedang menjalankan ibadahnya disana bisa kembali dengan selamat dan menjadi haji yang mabrur, bisa menjadi tauladan buat orang-orang yang belum pernah melaksanakan haji. Semoga efek baik dari berhaji memang benar-benar terbukti. Semoga orang-orang yang belum pernah menjalankan ibadah haji (seperti gue... :p) diberikan hidayah dan rezeki supaya dapat melengkapi rukun islam yang ke-5 dan yang terutama kita semua bisa menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Amien...

Harapan dari gue, orang yang banyak melakukan dosa

Orang Tua

 Tuesday, January 18, 2005

Masih terbayang dengan jelas wajah tua yang tergolek lemah didalam pembaringannya. Ekspresinya cukup jelas menyiratkan bagaimana rasa sakit telah membuatnya cukup menderita. Setelah bertahun-tahun tak pernah menginjakkan kaki kedalam rumah sakit, baru kali ini lagi aku merasakan kembali suasana khas rumah sakit, aroma karbol, obat-obatan, keluarga penunggu pasien yang sering tidur seadanya di sekitar ruang pasien, dan yang pasti tempat yang dipenuhi orang-orang sakit. Suasana itu membuatku merasa tidak bergairah untuk menjalankan hidup. Serasa energi negatif telah menyeruak masuk kedalam tubuhku membuatku semakin membenci rumah sakit.

Orang tua yang terbaring dengan lemah itu adalah kakek sepupuku. Umurnya diatas rata-rata umur manusia zaman sekarang, 104 tahun! lebih dari satu abad. Mulutnya masih terlihat hendak mengucapkan sesuatu, seperti sedang berkomat-kamit, tangannya bergerak-gerak. Tak tahu apa yang sedang dikerjakan beliau, semoga sedang melakukan zikir kepada sang pencipta. Menatap matanya membuatku tak tega untuk melihat penderitaannya, mata yang mulai redup itu seolah-olah terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang jelas tatapan mata itu menyiratkan ketidak berdayaan seorang manusia yang telah tua.

Disamping tempat tidurnya, terlihat pula beberapa orang tua yang dirawat disana. Aku agak merinding, ngeri jika membayangkan kelak suatu saat aku mungkin akan mengalami hal yang sama, menjadi orang tua yang terbaring lemah tak berdaya!. Melihat wajah-wajah tua yang terbaring lemah itu secara sepintas telah menyadarkan diriku bahwa dulunya mereka sempat menjadi orang-orang muda yang sehat, gagah, memiliki idealisme, memiliki harapan dan kini aku hanya melihat seorang tua yang lemah, wajahnya menyiratkan kepasrahan menanti waktu yang telah ditentukan Sang Pencipta untuk menghadapnya.

"Panjang umurnya, panjang umurnya..." itulah salah satu lirik yang sering didengar saat kita menyanyikan lagu ulang tahun. Melihat kondisi orang tua yang lemah dan tak berdaya di rumah sakit itu, aku serasa ingin mencela lirik lagu itu... apa gunanya hidup panjang umur jika harus lemah menderita tergolek tak berdaya!. Aku kembali teringat dengan salah satu adegan film Highlander dimana Duncan McLeod dengan setia menunggu saat-saat terakhir hidup istri yang sangat dicintainya. Istrinya yang dulunya muda dan cantik terbaring lemah dengan wajah yang telah keriput pasrah menanti ajal yang akan segera datang. Meski waktu telah memakan kecantikan dan kekuatan istrinya, kondisi Duncan McLeod tetap tak berubah, tetap sebagai orang muda. Akhirnya waktu itu datang juga, istrinya harus meninggalkan Duncan McLeod selama-lamanya. Saat Duncan McLeod akan mengubur istrinya, terdengar lagu bernada sendu yang dibawakan oleh grup band Queen asal Inggris dengan judul "Who Wants To Live Forever".

Who Wants To Live Forever? ya siapa yang ingin hidup selamanya? Setiap yang bernyawa pasti akan menemui ajalnya... Tapi akan mengerikan juga jika harus mati secepatnya... Manusia selalu takut kepada hal yang tidak diketahuinya, sejak dulu mati adalah misteri dari hidup yang tidak pernah diketahui. Orang beragama menganggap setelah kematian akan menghadapi suatu kehidupan baru, sebagian orang mungkin juga menganggap setelah kematian ya sudah habis perkara tidak ada lagi kehidupan yang lain...

Tak ada satupun yang benar-benar mengetahui mana yang benar, kecuali orang yang pernah merasakannya, dan tentunya orang yang telah merasakannya tak akan sempat menceritakan pengalamannya kepada kita! Dan akhirnya kematian akan tetap menjadi misteri bagi setiap manusia, (mungkin) selamanya!.

Tidak ada gunanya memiliki umur yang panjang, jika nantinya hari-hari tua diisi dengan menjadi orang pikun, sakit-sakitan, merepotkan anak-cucu, dan paling parah adalah mati tanpa memiliki bekal menuju kematian. Kematian adalah bagian dari kehidupan yang harus dialami oleh setiap makhluk hidup. Mati tidak selamanya membuat seseorang menjadi mati, justru kematian dapat membuat seorang tetap "hidup".

Kematian tidak selamnya membuat seseorang menjadi "benar-benar mati". Muhammad SAW, Yesus, Musa, para nabi, rasul dan orang-orang saleh tetap hidup sebagai contoh manusia Saleh yang pernah hidup dimuka bumi bagi kebanyakan pengikutnya. Mussolini, Hitler, Stalin namanya tetap hidup sebagai contoh pemimpin lalim yang pernah hidup bagi kebanyakan orang, dan mungkin juga sekaligus sebagai pahlawan bagi pengikutnya. Nama Jimi Hendrix, Bob Marley, John Lennon, atau Curt Cobain masih akan tetap hidup di benak penggemarnya. Curt Cobain lebih terkenal setelah dia mati, kini seolah-olah dia menjadi legenda dimata penggemarnya, kematian kontroversialnya telah membuatnya menjadi (mungkin lebih) populer ketimbang saat hidup. Siapa yang tidak mengenal mengenal wajah Ernesto Guevara? setelah kematiannya oleh tentara Bolivia di hutan belantara Amerika Selatan namanya tidak turut serta menjadi mati, justru kini orang dengan mudah melihat wajahnya terpampang di berbagai poster-poster atau kaus T-Shirt berwarna merah dengan tulisan yang jelas tertulis julukan populernya: "Che Guevara".

Menjadi Tua tidak semua orang akan beruntung untuk mengalaminya, tapi menjadi Mati... itu pasti akan terjadi di setiap makhluk hidup. Memandang orang tua yang tergolek di rumah sakit saja sudah cukup membuatku merinding... apalagi harus menghadapinya sendiri... Memandang orang tua dan kematian, sejenak mengingatkan akan kesia-siaan setiap usaha manusia mengejar dunia... Tapi kembali pada kehidupannya nyata, bayangan akan hari tua dan kematian akan segera terlupa begitu saja... sampai akhirnya kita mengalaminya sendiri...

konon seseorang pernah berkata, siap menjadi orang muda harus siap menjadi orang tua dan siap hidup harus siap mati... Ah hidup ini terasa semakin asing bagiku...

Cita Rasa & Peraturan

 Monday, January 10, 2005

Hari sabtu kemarin sempet ngobrol-ngobrol sama beberapa temen lama. Kebetulan ada temen gue yang baru keluar dari tempat kerjaannya, padahal baru masuk 3 hari. Temen gue bilang alasannya kenapa dia keluar, yang paling utama adalah masalah gajinya yang gak sesuai dengan biaya operasionalnya, pokoknya susah buat dia untuk bisa saving kalo terus kerja disitu, yang kedua lingkungan kerjanya yang katanya sih gak cocok. Selain itu katanya dia juga menambahkan soal keragukan kehalalan produk yang dihasilkan oleh tempat dia bekerja. Kebetulan tempat kerjanya itu bergerak di bidang makanan utamanya sejenis roti/cake. Didalam dunia pembuatan roti/cake/kue (dan kawan-kawannya) kadang kala menggunakan bahan Rum, nah disinyalir bahan ini tidak halal jadi ya daripada gaji kecil, lingkungan gak asik ditambah lagi disinyalir produknya tidak halal jadi dia keluar.

Terus gue nanya ke temen gue apa emang bener Rum itu gak halal karena sejujurnya gue emang gak tau. Kebetulan ada temen gue lainnya yang berpengalaman buat roti/kue untuk di jual, kalo kata dia sih emang Rum agak meragukan kehalalannya, makanya dia gak pernah pake kalo buat roti/kue-kue. Kalo gak salah Rum itu biasanya dipake sebagai bahan tambahan dalam suatu roti supaya lebih enak (spesifik efeknya 'kebaikannya' gue juga gak tau). Kalo bener akhirnya Rum itu haram (katanya sih emang haram?) berarti memang harus di cari alternatif yang fungsinya sama dengan Rum tapi halal.

Soal halal ini terus terang gue sih bener-bener awam, cuma kalo boleh gue bertanya sebenernya definisi haram untuk makanan/minuman itu spesifiknya apa sih? Rum katanya haram soalnya mengandung alkohol. Nah alkohol itu sendiri haram karena katanya alkohol dapat memabukan. Bagi orang Islam, sesuatu yang bisa memabukan (khmar) itu haram hukumnya untuk di konsumsi. Peraturan menghindari makanan/minuman yang haram ini wajib ditaati bagi semua umat Islam.

Permasalahan yang hingga kini masih blur bagi gue sejauh ini adalah seberapa batasan spesifik suatu makanan/minuman dapat dikatakan haram. Untuk kasus makanan haram yang sumbernya asli/alami seperti Babi atau hewan karnivora (pemakan daging) sudah cukup jelas. Nah untuk makanan/minuman olahan ini gue masih agak belum jelas soal definisi halal/haram-nya. Utamanya yang mengandung alkohol. Gue setuju kalo makanan/minuman yang mengadung bahan yang haram maka secara otomatis makanan tersebut bisa disebut haram.

Untuk soal penggunaan bahan yang mengandung alkohol ini yang agak "rumit" kalo menurut gue, karena biasanya bahan yang mengadung alkohol bahan dasar pembuatnya biasanya tidak mengandung alkohol, seperti beras, ketan, singkong dll. Jika merujuk definisi minuman haram adalah minuman yang memabukan, apakah bisa dikatakan bahwa jika kita mengkonsumsi alkohol secara sedikit dan tidak sampai mabuk maka tidak haram? Sebenernya masalahnya sederhana sih, jika memabukan. Cuma kalo patokannya halal/haram karena semata-mata mengandung alkohol maka sudah semestinya secara tegas semua yang mengandung alkohol adalah haram.

Masalahnya ada makanan alami yang mengandung alkohol, contohnya buah Duren. Hingga saat ini gue belum pernah mendengar bahwa Duren itu haram, padahal konon katanya duren mengandung alkohol. Tak heran jika mengkonsumsi terlalu banyak maka efeknya akan membuat mabuk. Jika membuat mabuk maka gue setuju aja kalo ada yang memfatwakan makan banyak Duren di haram :p. Hingga kini Duren kayaknya masih halal, meskipun buah itu mengadung alkohol? Padahal katanya, sedikit atau banyak sesuatu yang haram itu akan tetap haram. Nah jika secara strict memfatwakan alkohol itu haram, maka sedikit atau banyak mengkonsumsi Duren seharusnya haram juga? Kenyataannya hingga kini gue belum mendengar fatwa bahwa duren itu haram dan buktinya buah Duren tetap bebas dijual di pasar/jalan raya secara bebas.

Berarti ada pengecualian doong? Katanya memang ada pengecualian. Katanya jika alkohol dalam bentuk yang alami masih diperbolehkan, contohnya ya Duren itu. Nah kalo untuk yang sudah di olah bagaimana? Tape Ketan itu halal apa haram? ada yang bilang halal, karena dia masih dalam bentuk aslinya yaitu bulir-bulir ketan (bener gak sih istilah "bulir"?). Kalo bulirnya di pisahkan maka, air sisa fermentasi ketan yang mengandung alkohol dalam tape ketan itu adalah haram karena sudah tidak dalam bentuk yang aslinya. Ternyata rumit juga mendefinisikan halal haram padahal definisi haram untuk minuman awalnya "hanya": Segala sesuatu yang memabukan.

Ternyata cukup rumit mendefinisikan jenis makanan/minuman yang mendapat pengecualian-pengecualian dari status haram. Hal itu mungkin tidak menjadi masalah selama kita memiliki alternatif lainnya. Kalo sekedar dimakan mungkin kita bisa mencari alternatif lainnya, tapi bagaimana jika sudah mencakup soal cita rasa, tidak mudah menggantikan bahan baku untuk tetap menghasilkan efek dan cita rasa yang sama dengan bahan-bahan yang "meragukan" itu. Jika kembali ke contoh roti sebelumnya, jika kita ingin agar cita rasa roti/kue yang dihasilkan tetap sama baik secara rasa, tekstur, dll maka akan menjadi "pekerjaan berat" bagi pembuat roti untuk mencari bahan pengganti Rum, karena soal cita rasa itu bisa sangat sensitif sekali bagi orang yang memiliki lidah yang "terlatih" untuk membedakan rasa. Berhubung gue gak pernah mengikuti perkembangan dunia kuliner, gue berharap saat ini sudah ditemukan alternatif pengganti Rum yang meragukan itu, dengan efek yang sama, setidak-tidaknya mendekatai dengan Rum yang asli :).

Menjual barang yang mengandung cita rasa, utamanya makana/minuman ini memang lumayan rumit dan pelik kalo menurut gue. Cita rasa akan jauh melenceng jika kita tidak tepat dalam menjaga takaran/perbandingan setiap bahan baku (gue pernah ngalamin soalnya :p). Bisa membuat makanan yang enak dalam jumlah yang sedikit bukan berarti akan mampu juga menghasilkan makanan yang tetap enak dalam jumlah yang banyak!. Tapi untuk masalah itu sepertinya bisa diatasi dengan semakin tingginya "jam terbang" seseorang dalam memasak, jadi mungkin tidak terlalu masalah bagi yang sudah berpengalaman.

Tapi tetap masalah bahan baku seringkali menjadi kendala bagi produsen barang (makanan/minuman) yang mengutamakan cita rasa, bahkan bagi yang paling ahli sekalipun. Tapi jika berhasil mensiasati ini maka acungan jempol buat pembuatnya. Kita semua tentu tahu Coca-Cola dan kita mungkin juga pernah mendengar Kokain. Saat ini kita mengenal kokain sebagai barang terlarang, tapi tahukah anda bahwa pada awalnya Coca-Cola sempat menggunakan Kokain sebagai bahan pembuatnya? Tidak percaya? cek ke situs Snopes: Urban Legend Reference. Coca Cola saat ini berhasil dibuat tanpa menggunakan Kokain.

Coca Cola juga sempat ingin mengganti beberapa bahan pemanisnya agar tidak menimbulkan efek negatif, seperti kita ketahui kelebihan gula bisa menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi kesehatan orang-orang kebanyakan, karena kelebihan gula bisa menyebabkan orang menjadi gemuk. Mungkin Coca Cola khawatir jika orang tahu bahwa kadar gulanya tinggi maka orang yang tidak ingin badannya menjadi gemuk tidak akan membeli Coca Cola, jika kondisi ini berlanjut sudah pasti Coca Cola suatu saat akan ditinggal oleh konsumennya. Karenanya Coca Cola menciptakan Diet Coke, tapi tetap orang lebih banyak membeli produk Coca Cola yang asli.

Selama masyarakat masih menyukai mungkin tidak masalah meski itu dapat menimbulkan efek negatif. Tapi jika ternyata Negara akhirnya ikut campur terhadap kesehatan warganya, sehingga membuat kebijakan agar setiap makanan harus memiliki nilai ambang batas kandungan tertentu (misalnya kalori) maka sudah dipastikan produsen harus siap-siap mengubah resep asli yang jelas-jelas disukai konsumen. Pekerjaan mengganti bahan baku tapi tetap menghasilkan cita rasa yang sama bukanlah pekerjaan yang mudah dan singkat!

Contoh yang lain mungkin soal Rokok. Mungkin boleh dibilang Indonesia adalah surganya bagi perokok, kenapa? karena harganya murah, aturan/hukuman bagi orang yang merokok di tempat umum tidak tegas, belum ketatnya batas kadar kandungan zat yang digunakan (misal nikotin), dan satu lagi Cita Rasa rokok Indonesia menurut para perokok termasuk yang terbaik.

Pernah gue dengar suatu cerita, ada orang Indonesia yang keluar negeri membawa rokok Indonesia. Saat di perjalanan, orang Indonesia ini mengeluarkan rokoknya untuk dihisap (ya iya lah!), mungkin karena orang Indonesia itu ramah, dia tawarkan rokok yang dibawanya ke teman perjalanannya yang nota bene bukan orang Indonesia. Begitu di hisap, kata orang asing cita rasa rokok ini begitu nikmat, mengalahkan cita rasa rokok di tempat dia. Akhirnya ke esokan harinya orang yang ditawari rokok itu membawakan 1 slop yang berisi beberapa bungkus kotak rokok mereka kepada orang Indonesia untuk ditukarkan dengan 1 bungkus rokok asal Indonesia. Orang asing itu sepertinya tergila-gila dengan cita rasa rokok Indonesia. Bagi penikmat sejati rokok sepertinya mereka memang tahu bagaimana membedakan suatu rokok itu nikmat/tidak.

Di TV kita mungkin pernah melihat iklan rokok, dimana di dalam iklan itu digambarkan ada orang yang di uji untuk menentukan kualitas tembakau hanya dengan mencium bau tembakau dengan mata tertutup. Dalam dunia nyata orang yang memiliki indra penciuman yang terlatih untuk menentukan bagus/tidaknya kualitas suatu tembakau itu memang di bayar cukup mahal. Maklum bagi penikmat sesuatu (misal rokok atau makanan) cita rasa adalah segala-galanya, wajar jika Quality Control ini di bayar mahal, semua itu demi kualitas!

Nah, gue pernah baca kalo kadar nikotin di dalam rokok produksi pabrik rokok di Indonesia ini cukup tinggi. Nah kalo seandainya pemerintah mengeluarkan peraturan tentang batas maksimum kandungan nikotin harus sekian persen, maka besar kemungkinan cita rasa rokok-rokok asal Indonesia akan berubah (menjadi menurun?). Boleh jadi kandungan Nikotin yang tinggi itulah yang menjadikan cita rokok asal Indonesia lebih nikmat ketimbang rokok asal luar negeri yang sudah menerapkan aturan batas maksimum kandungan nikotin (gue juga gak tau, maklum gue bukan perokok :p). Seandainya benar pemerintah mengeluarkan kebijakan batas maksimum kadar nikotin seperti di luar negeri maka sepertinya para produsen rokok harus berfikir keras untuk menentukan/menciptakan bahan baku pengganti yang akan menghasilkan cita rasa yang sama atau lebih baik, minimal tidak jauh berbeda.

Ternyata... ketika peraturan sudah bermain dalam kancah cita rasa, maka saat itu juga otak produsen harus berputar lebih giat dalam mensiasati bahan pengganti yang sesuai dengan keinginan dari peraturan dan tetap tanpa melupakan tuntutan mempertahankan cita rasa bagi para penikmatnya...
Menjaga mutu saja sudah jadi pekerjaan yang cukup sulit, apalagi jika dituntut harus merubah bahan baku tanpa mengurangi kualitas/mutu, dan cita rasa produk akhir...

~sempet-pengen-jadi-produsen-makanan-bercita-rasa-tinggi :p *mimpi kali yee*

Ibu Pejual Nasgor

 Thursday, January 06, 2005

Jam sudah menunjukan sekitar pukul 23.45, tiba-tiba terasa perut terasa lapar, padahal sebelumnya sudah makan. Meskipun agak ragu, akhirnya coba-coba cari makanan, barangkali masih ada penjual makanan yang belum tutup. Maklum kalo sudah tengah malam agak susah cari penjual makanan yang masih buka. Setelah berjalan agak jauh akhirnya ada penjual nasi goreng. Letaknya tidak jauh dari Terminal Bubulak Bogor. Penasaran, karena sepertinya gue baru sadar kalo di tempat ini ada penjual nasi goreng.

Akhirnya coba beli makanan ditempat itu, ternyata yang tampak adalah seorang ibu yang sedang tidur di bale-bale dekat warungnya. Dengan nekat gue coba bangunkan ibu itu yang ternyata adalah penjual nasi goreng. Tanpa terlihat ditemani seorangpun, si ibu ini menyiapkan beberapa bahan untuk di jadikan nasi goreng. Dengan iseng gue coba ngobrol-ngobrol. Iseng nanya apa bener dia jualan sendirian, dan ternyata memang benar dia jualan sendiri tanpa ditemani siapapun. Dalam hati gue geleng-geleng seorang ibu ditengah malam sendirian dengan nekat tetap berjualan, apa gak takut kalo tiba-tiba ada orang berniat jahat dengan dia.

Setelah makanan yang dipesan habis, dengan sendirinya si ibu melanjutkan ngobrol setelah sebelumnya terhenti saat gue makan. Dia cerita hal-hal berkaitan dengan jualannya, dari situ pembicaraan melebar kemana-mana. Akhirnya jadi diketahui kalo si ibu ini berasal dari jawa, tepatnya kota semarang. Suami dan anak-anaknya berada di Solo. Ibu ini memiliki 2 anak yang paling tua sedang kuliah dan dia berharap dalam waktu tidak sampai setahun anaknya yang paling tua dapat segera lulus dari suatu universitas di kota Solo. Sedang anak yang kedua masih melanjutkan SMA masih dikota yang sama, kota Solo.

Suaminya adalah seorang pensiunan TNI-AU, sekarang dia tinggal di Solo. Disana suaminya mengurus sawah yang dimilikinya, dan itu berarti dia memang benar-benar seorang diri di kota Bogor ini. Sempat ketika ditanya apa dia tidak takut sendirian berjualan tanpa ditemani siapa-siapa, dia menjawab kalo adiknyapun yang tinggal dijakarta pernah menanyakan hal itu padanya, dia bilang "Yah saya sih pasrah aja kalo ada apa-apa, tapi sejauh ini sih belum pernah ngalamain hal-hal yang gek diinginkan". Lanjutnya "Di tempat ini deket terminal, ada tukang ojek dan penjual rokok, jadi ya saya gak takut-takut amat. Awalnya sih memang takut jualan disini tapi lama-lama ya biasa aja, malah sering juga saya tidur sendirian di warung ini sampe pagi".

Sebelumnya si ibu ini berjualan di ATS (Landasan Udara TNI-AU Atang Senjaya, Bogor), bahkan kini dia juga masih punya kios di sana, pembantunya yang mengelola kios itu. Ketika gue tanya kenapa gak jualan disana aja, dia bilang sih katanya kadang-kadang aja tapi dia lebih sering jualan di tempat yang sekarang, soalnya sayang kalo gak di terusin. Niatnya sih tempat itu pengen dijual tapi yang nawarnya selalu ngasih harga yang tidak sesuai. Kebetulan warung yang didirikan itu berada di lahan Pemkot, jadi yang dimaksud di jual adalah bangunan warungnya bukan tanahnya.

Ibu penjual nasgor itu juga pasrah kalo sewaktu-waktu nanti pemkot akan menggusur, karena dia juga memang sadar, warung yang didirikannya berdiri di atas tanah pemkot. Ketika ditanya berapa dia harus bayar, dia menyebutkan tidak tentu tapi biasanya kalo ada aparat ya biasanya bayar 5000 rupiah. Kadang jika pemerintah, entah pemkot, kelurahan atau kecamatan mau mengadakan acara semacam pesta, atau ulang tahun pejabat, biasanya dia dimintai sumbangan. Aduh kok jadi aneh sih, masak untuk acara pesta atau ulang tahun kok sampe tega-teganya minta uang sama pedagang kecil sih?

Ketika gue tanya kenapa gak ikut suami aja di Jawa?. Dia bilang kalo dia memang sempat tinggal satu tahun di Solo bareng suaminya untuk bertani. Cuma dia bilang karena merasa gak biasa dia paling hanya bisa mengawasi para petani yang mengelola tanahnya, kalo sampai turun tangan untuk bercocok tanam dia tidak biasa. Ditambah lagi selama ini dia merasa lebih pengalaman berjualan ketimbang bercocok tanam.

Selain tidak cocok sebagai petani, dia juga mengeluhkan kalo sebagai petani tidak bisa terlalu diharapkan, karena jika bertani hanya saat panen biasanya mereka memiliki uang, sedangkan kebutuhan sehari-hari tidak boleh putus. Meski suaminya memiliki uang pensiun, tapi rasanya uang pensiun itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga terpaksa dia harus mencari penghasilan lainnya.

Dia mengatakan bahwa dia dan suaminya bisa dikatakan terlambat memiliki anak, jadi ketika mereka pensiun pendidikan anak-anak mereka masih jadi tanggungan. Kemudaian dia bilang "Kalo bukan karena anak, saya juga gak mau nerusin jualan ini dik, karena masih belum pada lulus ya saya bela-belain jualan disini, kalo akhir bulan saya kirim beberapa ratus ribu untuk biaya mereka". Dalam hati gue, luar biasa pengorbanan ibu ini, benar-benar wanita yang tangguh, ibu yang berani menempuh resiko berjualan meskipun sendirian jauh dari keluarganya.

Ibu itu juga bercerita kalo dia seringkali kesulitan uang, dia mengatakan kalo dia berbelanja seringkali berhutang dulu, baru ketika awal bulan sebagian utangnya di bayar. Dia mengatakan pernah suatu hari uang yang ada ditangannya hanya 1000 rupiah saja, padahal bahan-bahan untuk jualannya harus terus dibeli agar hari itu dia dapat berjualan, jadi solusinya ya harus berhutan dulu. Dengan senyum kecut, gue jadi seperti disadarkan betapa beratnya hidup ini bagi orang semacam Ibu penjual nasgor ini. Kontras dengan kehidupan gue atau orang-orang yang memiliki nasib yang "lebih baik". Gue sengaja menggunakan tanda kutip (") karena gue juga gak tau apa bener orang yang memiliki kelebihan secara materi memang benar-benar memiliki nasib yang lebih baik dari si ibu ini...

Tekad si ibu ini agar anaknya dapat tetap sekolah ini patut diacungi jempol, ditengah keterbatasan materi dia rela berkorban berjualan hingga tengah malam, bahkan dia bercerita pernah berjualan hingga jam 5 pagi! -- dan yang pasti tetap seorang diri saja! demi keluarganya, utamanya untuk biaya pendidikan anaknya. Melihat tekad si ibu yang rela berkorban berjualan demi pendidikan anaknya, gue jadi teringat dengan ucapan seseorang yang mengatakan bahwa di Jawa kebanyakan sebagian orang tua memang sudah sadar akan pentingnya pendidikan, jadi tak masalah orang tua harus hidup melarat, tidak memiliki apa-apa asal anaknya bisa sekolah.

Setelah mendengar cerita ibu penjual nasgor yang kebetulan berasal dari Jawa ini, gue semakin yakin kebenaran omongan temen gue sebelumnya itu, bahwa sebagian besar orang tua yang berasal dari Jawa rela hidup menderita asal anaknya bisa bersekolah, ibu penjual nasi goreng itu adalah contoh yang sangat nyata!. Kalo diinget-inget guru-guru waktu gue SD, SMP, atau SMA yang berasal dari Jawa jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. Kalo gue gak salah baca, sekitar tahun 50-80an (bener?) katanya dulu hampir semua guru-guru di daerah ataupun pelosok-pelosok Indonesia itu berasal dari Jawa, bahkan konon katanya Malaysia ketika awal kemerdekaannya (tahun 60-an) pernah mendatangkan guru-guru dari Indonesia, dan guru-guru itu kebanyakan berasal dari Jawa.

Jika melihat contoh diatas, setidaknya bisa dijadikan indikator bahwa sumber daya manusia asal tanah Jawa saat itu cukup banyak yang berpendidikan. Dan kemungkinan semua itu berasal dari tekad orang-orang tua yang menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Selain di Jawa, di daerah lain utamana Sumatra Barat juga dikenal sebagai daerah penghasil orang berpendidikan. Bahkan kalo gak salah baca, di buku biografi H. Agus Salim, pernah disebutkan bahwa prinsip ibu-ibu di daerah asalnya adalah (kira-kira): "Biarlah harta habis untuk pendidikan anak, asal kelak anak menjadi datuk yang berpendidikan dan terhormat". Sepertinya harapan ibu-ibu itu memang terwujud dengan hadirnya tokoh-tokoh besar Indonesia sekaliber H. Agus Salim, Moh Hatta, dll.

Andai saja uang negara ini tidak di rampok oleh "tikus-tikus" negara, tentu orang-orang seperti ibu penjual nasi goreng ini tidak perlu berjualan nasi goreng hingga pagi hari, karena biaya pendidikan anaknya ditanggung oleh negara. Agar iri juga kalo lihat negara lain misal Malaysia yang sudah bisa memberikan pendidikan yang layak bagi warga negaranya. Kata kenalan gue yang pernah kerja di Malaysia, prosentase anggaran negara untuk pendidikan disana konon termasuk yang cukup besar di dunia jika tidak dapat dikatakan yang terbesar di dunia. Bahkan secara prosentase Amerika Serikat-pun katanya kalah dengan prosentase anggaran pendidikan pemerintah Malaysia. Tak heran kalo sekarang Malaysia termasuk satu dari sedikit negara Asia yang lumayan maju.

Dulu Malaysia belajar sistem pendidikan dari Indonesia, sekarang mungkin sebaliknya Indonesia yang harus belajar dari Malaysia. Andai saja anggaran 20% untuk pendidikan yang telah ditetapkan dipenuhi oleh pemerintah, tentu orang-orang seperti penjual nasi goreng itu bisa lebih tenang menikmati masa pensiunnya tanpa harus disibukan dengan berjualan nasi goreng hingga pagi hari. Selain itu ada juga hikmah yang bisa di ambil dari si ibu penjual nasgor ini, yaitu: sebaiknya nikah harus muda kalo memang ingin punya anak, karena kalo punya anak saat tua, mungkin akan lebih sulit memberikan pendidikan bagi anak, terutama saat badan sudah renta di makan usia... Mungkin kalo gak niat pengen punya anak, kayaknya sih gak masalah nikah di usia tua... :p

Life, for what it's worth?